Hanya bermodal berani dan nekat, Syafi’i menghidupi keluarganya secara layak. Seorang isteri dengan empat orang anaknya.
Sejak terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di sebuah perusahaan patungan antara Indonesia dan Amerika, Syafi’i mulai unjuk gigi.
Dalam setiap pembicaraan dan kesempatan, dia selalu memakai istilah asing. Padahal sekolahnya mandeg di kelas II SLTA.
Tetapi semua orang mengakui, hanya dengan modal nekat, tebal muka dan berani dia sering nempel turis asing yang berseliweran di Ibukota, Jakarta.
Atas keberaniannya tersebut, ia pun dilirik petugas Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) untuk ikut pelatihan pemandu wisata.
Sejak pagi-pagi buta dia sudah berdandan necis, sehingga Mumul, isterinya dibikin kalang kabut karena harus menyiapkan sarapan pagi.
Usia boleh tua, tapi gaya anak muda. “Boleh kan?,” bisik Syafi’i sambil menyisir rambutnya yang tinggal beberapa lembar di depan kaca.
“Pagi-pagi buta sudah dandan necis. Emangnya mau ke mana Bang?” tanya Mumul isterinya.
“Kayak lu kagak tahu saja. Pura-pura nanya. Ngomong-ngomong, saya sudah kelihatan cakep belum?” ganti Syafi’i bertanya pada istrinya.
“Kalo peyot ya peyot saja. Keruan sudah tua, lagunya kayak bujangan,” jawab iterinya sengol.
“Lu bilang peyot? Nooooh, pipi aye masih berisi !” kata Syafi’i sambil kembungkan pipinya.. “Mul………Mul……….Kalo model Abang gini, kira-kira masih laku kagak, ya…” katanya keterlepasan.
“Kong……kong ! Nyebut dong. Badan lu aja sudah bau tanah. Ngigau kali ya?” kata isterinya ketus.
“Doooo…….. gitu aja sewot. Pan cuman bercanda Mul. Emang beneran. Pan kagak. Mau gimana juga, lu masih cantik kayak Dewi Shinta di mata gua,” katanya sambil mencolek pantat isterinya sambil pamit berangkat ke pelatihan. Keruan saja Mumul makin sewot.
Ketika pelatih asyik memberikan pengarahan kepada para peserta pelatihan, Syafi’i rupanya tertidur pulas. Karena malemnya siskamling di lingkungan tempat tingalnya sampai menjelang Subuh.
Bahkan sampai ’ngorok’. Ketika teman pelatihannya menggoyang tubuhnya, Syafi’i hanya ’ngulet’ dan mulutnya kecap-kecap. Ketika sang pelatih membangunkannya, Syafi’i gelagapan.
“Ada apa sih, ane sampai kaget!” katanya sambil celingukan.
Semua orang yang berada di ruangan pelatihan tertawa terpingkal-pingkal. Materi pelatihan antara lain menyangkut bagaimana cara terbaik melayani wisman dan wisnu.
Karena itu, seorang pembicara dari Dinas Parekraf bertanya kepada Syafi’i.
“Bang Syafi’i, dalam pelatihan tadi antara lain kita bahas masalah bagaimana melayani dan memperlakukan wisman dan wisnu. Saya mau bertanya, apa sih artinya Wisman dan Wisnu,” tanya sang pelatih.
“Ya….. ya….Ane pernah tahu dan pernah kenal siapa Wisman dan siapa Wisnu. Seingat saya, Wisman adalah saudara kembar Wismoyo, tetangga sebelah anak Pak Maruto si bakul sate. Sedangkan Wisnu adalah masih saudara Bathara Guru. Tinggalnya di Kahyangan Jonggringsaloka,” jawab Syafi’i.
Keruan saja,orag-orang seisi ruangan pelatihan tertawa terpingkal-pingkal. Tapi Syafi;i tak kalah gengsi.
“Coba,kalian tanya kepada Pak RT gua atau Pak Guru Darsono. Kalau Wisnu benar-benar dewa penghuni Kahyangan Jonggringsaloka. Nggak percaya, tanya saja sama, Pak Dirman, guru budi pekerti yang sering bercerita tentang wayang,” kata Syafi’i sambil ngeloyor keluar ruangan. (DDJP/stw/rul)