Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal. Kemerdekaan malah membangunkan soal-soal. Tetapi, kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan masalah itu.
Hanya, ketidakmerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk meecahkan soal-soal. Ungkapan itu pernah dikemukakan Presiden Soekarno pada peringatan Hari Kemerdekaa Republik Indonesia pada tahun 1960-an.
Penyataan Bung Karno itu mengisyaratkan perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak terbatas kebebasan sebagai ’hak negatif’ atau ’bebas dari’ berbagai bentuk penjajahan, penindasan, dan pemiskinan.
Tetapi juga kebebasan sebagai ‘hak positif’. Bebas untuk mengembangkan diri dn nilai tambah demi mencapai kemajuan, keluhuran, dan kebahagiaan hidup.
Pengalaman ketertindasan, diskriminasi, dan eksploitasi memang pantas diratapi, dilawan, dan diperingati. Tetapi manusia, seperti dikatakan Islah Berlin, tidaklah hidup sekedar memerangi keburukan.
Mereka hidup dengan tujuan positif. Menghadirkan kebaikan. Kemerdekaan memimpikan banyak hal yang hanya bisa dipenuhi jiwa merdeka.
“Di sinilah letak paradoks Indonesia masa kini,” ujar Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono, Minggu (10/8)
Wakil rakyat dari Fraksi Partai Demokrat itu mengemukakan, selama belasan tahun Orde Reformasi, kebebasan sebagai ‘hak negatif’ mengalamis surplus. Namun, kebebasan sebagai ’hak positif’ masih defisit.
Di satu sisi, menurut dia, ledakan kebebasan dari berbagai bentuk represi membangkitkan harapan rakyat akan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan sejahtera.
“Di sisi lain, kapasitas negara-bangsa untuk memenuhi ekspektasi itu dibatasi defisit jiwa merdeka di kalangan elite negeri yang membuat energi nasional terkuras untuk mempertentangkan hal-hal yang remeh-temeh dengan keriuhan berbagai manuver politik yang terputus dari persoalan rakyatnya,” tandas Mujiyono.
Demi memperjuangkan kemerdekaan sebagai ’hak positif’, lanjut dia, yang harus segera dijebol adalah hambatan mental (mental bloc).
Warisan terburuk kolonialisme, feodalisme, dan otoriteritarisme, bukan terletak pada besaran kekayaan yang ditimbulkan, dan nyawa yang melayang, melainkan pewarisan nilai koruptif, penindasan, dan perbudakan yang tertanam dalam mental bangsa.
Indonesia, bangsa besar dengan mental kecil yang masih belum terbebas dari mentalitas kaum terjajah dengan kompleks rendah diri.
Dalam Amanat Presiden pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1957, Bung Karno mengingatkan perlunya Bangsa Indonesia memerangi diri sendiri, ’zelfoverwinning, atas diri kita sendiri, sehubungan dengan kecenderungan menurunnya kesadaran nasional kita’.
“Menurut Bung Karno, kelemahan jiwa kita adalah karena kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa. Sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri,” tutur Mujiyono.
“Kurang percaya-mempercayai satu sama lain. Padahal, kita ini pada asalnya ialah rakyat gotong royong, kurang berjiwa gigih, melainkan terlalu lekas mau enak dan ’cari gampangnya saja’,” tambah dia.
Itu semua, sambung Mujiyono, terjadi karena semakin menipisnya rasa, harkat nasional, makin menioisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa dan rakyat sendiri. (DDJP/stw/df)