‘Uniknya Bhinneka Tunggal Ika’

May 16, 2024 10:09 am

Prinsip yang tersirat di dalam Pancasila dan di dalam Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sesuatu yang mudah diperjuangkan di tengah ke-Indonesiaan modern kita. Modernitas mengubah pola distribusi penduduk.

Di daerah urban, terlihat pembentukan kelompok-kelompok minoritas yang meminta agar hak mereka untuk membuka tempat ibadah diakui. Daerah luar Jawa yang dulunya relatif homogen, kini harus berhadapan dengan kenyataan masyarakat kian majemuk akibat migrasi dan trasmigrasi, seperti diutarakan ahli sejarah dalam seminar tadi,” Jumantoro membuka pembicaraan.

“Ya. Sejarawan tadi juga mengatakan, dampaknya tidak selalu positif. Karena pertarungan ekonomi antara kaum pendatang yang sering relatif “maju” atau ”terdidik” dan kaum pribumi yang ‘terbelakang’ mengubah keseimbangan sosial-ekonomi setempat. Hal itu, lambat laun mengubah juga keseimbangan politik. Terutama ketika tokoh-tokoh pribumi setempat yang tadinya mengisi ruang politik lokal kedapatan bertarung kursi dengan tokoh pendatang, Apakah tidak perlu diwasdai dan apabila persaingan ekonomi, sosial, politik ini tidak lagi dilenturkan di dalam tawar-menawar demokratis, sehingga terdapat risiko ruang persaingan meluas ke agama dengan kristalisasi identiter di seputar agama acuan sebagai ’kebenaran tunggal,” Herdi menimpali.

“Untungnya, seluruh sistem simbolis kebangsaan Indonesia disusun sedemikian rupa oleh pendiri bangsa. Terutama Bung Soekarno, agar maalah ini terlampaui. Agama boleh dijadikan pusat kesadaran spiritual. Tetapi bukan pusat kesadaran sosial-politik. Posisi mana ditempati oleh kebangsaan. Itulah kunci konsep Pancasila yang diperkokoh oleh semboyan Bhineka Tunggal Ika,” kata Jumantoro.

“Tapi arus disadari bahwa peraga simbolis nasional tidaklah cukup. Evolusi pesat kepentingan kelompok dan distorsi algoritma medsos dalam menangani masalah nasional dan internasional kerap bermuara pada politisasi agama yang berlebihan,” Sukmajaya menimpali.

“Lalu, bagaimana menanggapi fenomena ini?” Jajang menyela pembicaraan.

“Salah satu caranya adalah dengan budaya. Antara lain dengan megangkat kepermukaan momen-momen atau unsur masa lalu yang mengunggulkan persatuan dan menisbikan konsep identitas……..”

“Salah satu contohnya ?” Jajang kembali menyela pembicaraan.

“Salah satunya adalah upaya tersebut adalah dilakukan di salah satu desa tradisional Budakeling, Bali. Pada kesempatan pementasan suatu tarian ‘Gambuh Masutasoma’. Di mana, di wilayah Budakeling tersebut terdapat dua pemukiman tradisional penduduk yang berbeda agama. Budakeling sendiri Hindu dan Seren Jawa yang Islam. Di Budakeling posisi unggul di tempati oleh para brahmana Buddha keturuan Dang Hyang Astapaka, pendeta Buddha yang hijarh ke Bali dari Jawa pada abad ke-16, ’kata Jumantoro.

“Di kalangannya, dipertahankan suatu tradisi Buddha, ditopengi seorang pedanda Budha lengkap dengan mantra, upacara dan tradisi pembacaan sastra terkait, termasuk kakawin Sutasoma. Penduduk Islam datang belakangan di dalam kaitan dengan siar Islam dari Demak ke wilayah timur Jawa. Di situ terdapat kisah leluhur tercampur mitos. Ketika rombongan Duta Islam menghadap Raja Waturenggong di Gelgel untuk mengislamkannya, mereka gagal. Di dalam cerita rakyat disebut gagal ’memotong kukunya”. Takut menghadapi amarah Raja Demak, mereka diizinkan bermukim di Gelgel. Lalu, ketua rombingan, Kiai Jalil, yang amat sakti itu diminta ke Karangasem untuk membunuh sapi wadak liar yang konon merusak wilayah Kumetug,” urai Jumantoro.

“Bukankah kita tadi membicarakan soal keunikan Bhineka Tunggal Ika, kok ngelantur ke sejarah Gelgel di Bali,”protes Jajang.

“Jangan dulu protes. Dengerin kisah selanjutnya. Kan Jumantoro belum selesai bicara,” sergah Sukmajaya.

“Kiai Jalil berhasil membunuh wadak dan sebagai balasan, dia dianugerahkan tanah untuk rombongannya. Itulah asal Desa Saren Jawa. Selain itu, Kiai Jalil mempersunting seorang putri gria Buddha bergelar Jero Tauman. Nah, terlihat di sini bahwa kedua kelompok, brhaman Budha dan Islam dipersatukan oleh jalinan mistis-historis asal dan sekaligus hubungan kerabatan. Selain itu, terdapat juga unsur ‘ upacara’ di gria Buddha yang mempererat jalinan lintasagama ini. Setiap kali ada upacara besar seperti plebon pendeta, pediksaan, orang Islam dari pemukiman Saren Jawa ’menyumbangkan’ seni ‘rodat dan burdah” Islam yang khas itu sebagai tanda persaudaraan. Jadi, persaudaraan dikenang dan dihidupkan kembai melalui upacara. Keeratan persaudaraan tidak terhenti di situ. Di pihak kaum brahamana Buddha sejak dulu terdapat tradisi membaca kekawin Sutasoma.

“Apa ujaran Sutasoma ?”Jajang penasaran.

“Yang pertama ajaran ”pengorbanan” ketika sang titisan Buddha itu menawarkan diri sebagai “makanan” pada setiap lawan yang dihadapinya. Yang kedua, ajaran penisbian agama, dengan kalimat kunci ” Tan hana Dharma, Mangrwa, Bhineka Tunggal Ika”. yang artinya, Tidak ada dua dharma, dharma berbeda, tetapi satu’.Disebut ajaran Sutasoma, Ustadz Denpasar yang bijak, Kusnadi Mustofa berkata: ” Wali Songo mengajarkan siar Islam bukan dalam perbedaan, tetapi dalam persamaan melalui budaya setempat,” urai Jumantoro.

“Ooooh,…… jadi sejatinya semboyan Bhineka Tunggal Ika itu lebih dari sekadar ajakan persatuan bangsa. Ia menyiratkan persatuan kalbu manusia satu sama lainnya di dalam seruan keagamaan. Nah, dalam Pilkada bulan November 2024 nanti, kebhinekaan seperti itu juga bisa terwujud,” kata Jajang.

“Lho. Apa hubungannya dengan Pilkada?” tanya Sukmajaya.

“Akh,……… katanya orang cerdas, kok nanya. Belagak bloon lu !” kata Jajang sambil menabok pundak Sukmajaya. (DDJP/stw)