Konsep berpikir kreatif kerap digaung-gaungkan. Baik di dunia pendidikan maupun di tempat kerja.
Untuk menang dalam kompetisi yang semakin intens ini, perlu memiliki cara-cara atau yang dihasilkan dari pemikiran kreatif.
Demikian diungkapkan Budiono kepada teman-teman sejawatnya di kantin dekat tempat kerjanya usai makan siang.
“Namun, kreasi dan inovasi ini seharusnya tidak sekadar berbeda dari pakem-pakem yang sudah ada dan menjadi nyeleneh, tetapi juga bagaimana kita harus bisa menggunakan pendekatan yang lebih empiris berdasarkan data yang sering tak terlewatkan ketika kita berusaha berpikir kreatif,” kata Norman.
“Sudah baca buku berjudul Tank Like a Freak karangan Steven D Levitt dan Stephen J. Dobner belum?” nyeletuk Johansyah.
“Belum! Ada apa rupanya? tanya teman-temannya hampir berbarengan.
“Isi buku itu antara lain mendorong kita untuk menganalisis kembali cara-cara berpikir yang biasa kita lakukan, yang membuat kita terjebak dalam berbagai asumsi,” kata Johansyah.
“Terus…….terus gimana selanjutnya?” tanya mereka setengah mendesak.
“Para penulis tadi menyoroti bagaimana kebiasaan-kebiasaan berpikir yang seringkali tidak disadari telah membuat kita mengambil keputusan yang salah. Hal yang paling penting, diajarkan dalam buku tersebut adalah agar kita melihat dunia lebih jelas sebagaimana adanya. bukan seperti yang dilihat sebagian besar orang, bagaimana kita menyadari bias-bias yang sering kita abaikan,” urai Johansyah.
Lebih lanjut dikemukakan, tambah Johansyah. Seringkali pilihan yang benar adalah pilihan yang justru tidak populer, sehingga dibutuhkan keterangan yang cukup besar untuk mengambil pilihan itu.
Dalam statistik persepakbolaan misalnya, ditemukan bahwa pola tendangan penalti, 57 persen penjaga gawang akan melompat ke sisi kiri penendang bola karena sebagian besar penendang bola tentunya akan menendang dengan kaki kanan dan membuat bola bergulir ke sisi kiri.
“Kalau begitu, hanya 41 persen dalam momen tendangan penalti yang membuat penjaga gawang melompat ke sisi kanan. Bila menelaah angka ini, kita akan melihat data bahwa hanya 2 persen dari keseluruhan momen penjaga gawang akan tetap berada di tengah. Namun, mengapa jarang sekali tendangan penalti diarahkan ke tengah gawang yang sebenarnya memiliki peluang keberhasilan 98 persen?” tanya mereka.
“Hal ini karena tendangan ke tengah terasa kurang sensasional. Selain itu, jika gagal, penendang bola akan dicemooh para suporter karena dianggap mengarahkan bola yang selayaknya kita lepaskan untuk mudah ditebak penjaga gawang lawan, membuat hidup lebih bahagia. Mana yang akan Anda pilih?” tanya Johansyah.
“Saya pilih tendangan lurus. Karena hasilnya positif. Saya sangat bahagia. Karena berkat tendangan lurus, sebulan lagi saya akan dapat momongan,” Hardi nyeletuk.
“Itu gara-gara kamu tembak langsung. Bukan penalti. Tak apa-apa. Setelah itu, ubah cara berpikir kamu. Jangan sering-sering tembak langsung. Kasihan istri kamu,” komentar teman-temannya. (stw)