Wajah pasar terus berubah. Semula, wajah pasar berupa lapak yang digelar di tanah bersanding dengan pikulan dan gendongan bakul. Lalu, berkembang ke bangunan berlapak dan berkios.
Di era modern, wajahnya Kembali alami perubahan menjadi bangunan beton.
Ada yang menampilkan penataan kios dan lapak yang lebih baik dan bersih. Ada pula yang mengedepankan konsep ritel swalayan.
“Dengan kehadiran teknologi informasi, lagi-lagi, pasar menampilkan wajah baru,” ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Basri Baco, beberapa waktu lalu.
Pasar, sambung koordinator Komisi B DPRD DKI Jakarta itu, bukan bangunan fisik yang luas. Kini, pasar berada di laman, lapak dunia maya.
“Pasar kini berada dalam genggaman tangan,” tutur Basri Baco.
Politisi Partai Golkar itu mengemukakan, pola belanja dan transaksi masyarakat pun berubah. Cukup dengan seluler, orang bisa belanja dengan jari.
“Orang tak lagi repot menjinjing barang. Karena barang dapat diantar sampai rumah,” kata dia.
Perubahan itu juga membuat pemerintah berpikir ekstra keras mengatur tata niaga e-dagang.
Sama halnya saat terjadi pergeseran dari pasar tradisional ke pasar ritel.
Karena itu, imbuh Basri Baco, regulasi lama tak bisa diterapkan begitu saja ke pasar e-dagang.
Antara lain, penentuan pelaku usaha, pengawasan, pajak, sistem pembayaran, dan perlindungan konsumen.
“Hal lain yang muncul juga menyangkut perlindungan pelaku usaha dalam negeri,” tambah dia. (stw/df)