Dari sapi di belantara Kota Jakarta, susu segar mengalir ke kuah sop dan soto Betawi. Ini fenomena yang pengaruhnya di lidah pecinta sop dan soto cukup terasa.
Senja beraroma sop kaki kambung di perempatan Jl. KH. Mas Mansyur, Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat, sekitar 30 meter dari rel kereta api. Bang Karim (73) dan anak-anaknya sigap menyiapkan dagangan di sebuah tenda besar bertuliskan Sop Kaki Kambing Tanah Abang-Bang Karim.
Betapa tidak? Dagangan belum siap, belasan pelanggan sudah antre dilayani. Abu, anak Bang Karim mengemukakan, setiap malam Jumat, pembeli selalu membeludak. Warung itu buka mulai pukul 18.00 WIB atau jam enam sore, pukul 21.00 WIB atau jam sembilan malam sudah habis.
“Maklum, banyak pasangan yang siap-siap beraktivitas di malam yang baik,” kelakar Abu, anak Bang Karim sambil mmbuka dandang berisi kuah sop berwarna putih susu.
Setelah dibumbui minyak samin, kuah itu menjadi putih gading dengan semburat lemak. Tak lama kemudian, Bang Karim mengambil alih pekerjaan dan mulai meracik bermangkok-mangkok sop pesanan pembeli.
Tidak lama, semangkok sop kambing dengan kuah putih kekuningan berhias potongan tomat, daun bawang, dan emping melinjo hadir di hadapan pelanggan.
Harum rempah, kapulaga, cengkeh, dan kayu manis menguap ke udara mengabarkan kelezatan sop tersebut. Setelah meyendok sop yang tampangnya lebih mirip soto itu, begitu kuah mengalir ke lidah, rasa gurih, hangat rempah, asam jeruk limau, dan pedas cabai langsung menyergap dan menggedor kelenjar keringat, senja itu di Jl. KH. Mas Mansyur dan tenggelam dalam kelezatan sop racikan Bang Karim.
Selain warung Bang Karim, tak kurang dari delapan atau sepuluh warung tenda sop kaki kambing yang buka setiap malam di sepanjang jalan itu. Siang hari, di lokasi itu juga buka warung sop kaki Putera Betawi, Bang Rudy, Bang Ahmad, Betawi 123, dan Setia.
Sentra Sop Kaki
Kawasan Tanah Abang sudah lama menjadi sentra sop kaki kambing di Jakarta. Sejak awal tahun 1900-an, pedagang sop kaki kambing bertebaran hingga ke gang-gang sempit.
Para pedagang tersebut umumnya berasal dari Tanah Abang. Terutama dari Gang Mess, Gang Awaluddin I, Gang Awaluddin II. Di sekitar lokasi itu ada tiga pedagang sop kaki kambing.
Saat menyusuri Gang Awaluddin II yang membentuk labirin sempit, terdapat beberapa orang tengah mengolah beberapa karung kepala dan kaki kambing. Pemandangan serupa juga bisa dijumpai di GangMess.
Bang Karim mengatakan, berjualan sop bersama ayahnya sejak awal tahun 1900-an. Ia bercerita, pedagang sop kaki kambing awalnya muncul di Gang Mess, kemudian menyebar ke gang-gang lain di Tanah Abang.
“Dulu, mereka dagang di kawasan Gambir dan Menteng. Setelah digusur dari tempat berdagangnya, mereka berpencar ke beberapa pojok Jakarta. Ane sempat pindah ke Senayan, akhirnya berlabuh di sini,” kisah Bang Karim.
Pertanyaannya, bagaimana Tanah Abang bisa menjadi sentra sop kaki kambing? Ini ada hubungannya dengan perkembangnya pasar ternak seiring perkembnagan Pasar Tanah Abang yang didirikan Justinus Vinck tahun 1735.
Pasar ternak itu selanjutnya dikenal dengan Pasar Kambing hingga sekarang. Rudy, pemilik warung sop kambing Putra Betawi mengatakan, hampir semua pedagang sop kambing di Tanah Abang secara turun-temurun, pasti pernah jadi pedagang atau jagal kambing.
“Kami ahli motong kambing. Di sini juga muncul orang-orang yang jago motong kambing dan akhirnya buka warung,” kisah Rudy.
Di lain pihak, Bang Karim menambahkan, dahulu antarwarga bisa saling belajar masak sop kaki yang enak. Bahkan, pendatang yang tinggal di Tanah Abang pun juga boleh ikut belajar.
“Sekarang, masing-masing merahasiakan resep karena persaingan dagang sop kambing sudah ketat,” kata Bang Karim.
Sop kaki kambing Tanah Abang yang dapat dijumpai kini, umumnya mengandung susu sapi. Menurut Bang Karim, awalnya sop kambing itu berkuah bening. Karena pengaruh orang Arab, ada yang memasukkan kuah susu kambing, pada tahun 1900-an.
Lalu, muncul tren Soto Betawi berkuah susu sapi segar. Pedagang Tanah Abang yang jualan sop, bahkan soto pun ikut-ikutan menuangkan susu ke dalam kuah sop.
“Bapak saya juga awalnya jualan sop bening, lalu dia menambahkan susu sapi ke dalam sop. Rasanya, emang lebih mantap dan tampangnya jadi keren,” tutur Bang Karim.
Susu sapi yang digunakan diambil dari pedagang susu keliling yang berasal dari kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Tapi, Bang Karim sekarang tidak menggunakan susu segar, tapi susu bubuk. Alasannya, susu sapi segar dari peternakan Jakarta kualitasnya tidak sebagus dahulu.
Relatif Baru
Tokoh senior Betawi, Irwan Syafi’i (9O) mengemukakan, masuknya susu ke dalam kuah sop dan soto Betawi relatif masih baru.
Ia menuturkan, saat ia beranjak remaja pada tahun 1945, ia hanya mengenal sop kambing bening dan Soto Betawi bersantan.
Beberapa tahun kemudian, mulai muncul soto bersusu. Terutama di kawasan yang dekat dengan peternakan sapi perah, seperti Kuningan, Jakarta Selatan.
“Waktu itu, susu sapi melimpah. Karena orang Betawi malas memeras santan, mereka menggantikannya dengan susu. Itu bukan pengaruh Belanda. Belanda kan nggak bisa masak Soto Betawi,” tutur Irwan.
Seingat Irwan, pedagang soto Betawi terkenal yang pertama menggunakan susu sapi itu ada di kawasan Cikini.
Kisah munculnya susu ke dalam kuah soto itu, ungkap Mukhlis, putra dari pemilik warung Soto Ma’ruf, tidak menggunakan perencanaan.
Mukhlis yang kini melanjutkan usaha almarhum ayahnya di Jl. Teuku Cik Ditiro, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, itu menceritakan awal mula soto dengan susu.
Suat hari, Haji Ma’ruf kehabisan kuah soto. Padahal, daging sapinya masih ada. Ma’ruf memutuskan membuat kuah soto lagi.
Masalahnya, untuk membuat kuah soto, Ma’ruf harus susah payah memarut kelapa untuk mendapatkan santan.
Tetapi Ma’ruf tidak kehabisan akal. Ia mencampur santan dengan susu sapi segar. Alhasil, ternyata kuah soto bersusu itu rasanya lebih gurih. Sejak saat itu, Ma’ruf memasukkan susu ke dalam kuah soto yang dijualnya.
“Kabar soto berkuah susu itu tersiar ke telinga banyak orang. Mereka penasaran ingin mencoba soto berkuah susu yang kedengaran keren itu. Maklum, waktu itu semua makanan yang pakai susu dianggap mewah,” tutur Mukhlis. (DDJP/stw/df)