Korsleting listrik menjadi faktor utama bencana kebakaran di Jakarta. Oleh karena itu, warga diminta secara rutin mengecek kondisi instalasi listrik. Pengecekan bertujuan sebagai langkah pencegahan.
Pada 2023, sebanyak 1.216 dari 2.286 peristiwa kebakaran disebabkan terjadinya hubungan pendek arus listrik alias korsleting. Hal itu diungkapkan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta di hadapan Komisi A DPRD DKI Jakarta pada awal Februari 2024.
Anggota Komisi A DPRD DKI Dwi Rio Sambodo meminta Pemprov DKI meningkatkan pengawasan kualitas kabel listrik. Sehingga tidak ada lagi kebakaran yang disebabkan kabel yang sudah usang.
“Penanganan kualitas kabel listrik beserta kenormalan penggunaan listriknya harus menjadi prinsip utama penanganan,” ujar Dwi Rio saat dihubungi, beberapa waktu lalu.
Di permukiman padat penduduk, sambung dia, perlu dibekali alat pemadam ringan. Tentunya di setiap RT dan RW. “Ketersediaan APAR yang menunjang khususnya untuk wilayah padat dan sempit yang sulit dijangkau mobil pemadam,” ungkap Dwi Rio.
Namun, Dinas Gulkarmat DKI perlu mengintensifkan pelatihan penggunaan APAR oleh warga. “Dinas Gulkarmat tidak bisa bekerja sendirian. (Perlu-Red) keterlibatan dan peran serta warga dalam melakukan pencegahan, seperti adanya korsleting listrik, pembakaran sampah, hingga kelalaian penggunaan kompor gas,” tandas dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta Setiyadi Gunawan mengemukakan, kebakaran yang sering terjadi di wilayah DKI Jakarta, kebanyakan dipicu oleh korsleting listrik.
Menurut Setiyadi, paling dominan menyebabkan kebakaran, antara lain kelalaian masyarakat, korsleting listrik, dan sebagainya. “Ada beberapa masalah yang memicu terjadinya korsleting hingga menyebabkan kebakaran. Salah satunya, penggunaan barang elektronik dengan arus listrik yang tidak sesuai. Kan banyak juga elektronik yang Rp. 10.000 tiga di pasar malam,” ungkap dia.
Ia mengungkapkan, penggunaan alat kelengkapan listrik yang tidak standar memiliki risiko tinggi. “Karena kita nggak tahu kualitasnya seperti apa. Bisa saja barang itu diservis lalu dipasang. Karena kualitasnya di bawah standar, bisa memicu korsleting. Apalagi di daerah padat hunian semi permanen. Belum lagi budaya kelalaian, misalnya lupa mencabut dari stop kontak, bisa memicu kebakaran,” urai Setiyadi.
Setiyadi mengaku telah membentuk satuan tugas (Satgas) di 267 kelurahan. Tujuannya untuk meminimalisasi terjadinya kebakaran di tahun 2024. Keberadaan Satgas berperan menyosialisasikan dan memberi pelatihan kepada masyarakat mengenai sarana dan prasarana alat kebakaran.
Satu di antaranya terkait latihan penggunaan alat pemadam kebakaran ringan (Apar). “Jadi, selama ini masyarakat tahunya menunggu api dipadamkan saat kebakaran saja. Tak ada upaya preventifnya. Nah, ini (membentuk Satgas-Red) adalah upaya bagaimana kami untuk melakukan sosalisasi pencegahan,” tegas Setiyadi.
Setiyadi juga memastikan keberadaan Satgas di setiap kelurahan sangat efektif. Informasi peristiwa kebakaran bisa sangat cepat. “Eksistensi pemadaman kebakaran oleh masyarakat sekarang juga sudah mulai terlihat,” tukas dia. (DDJP/apn/gie/stw/rul)