Tingkatkan Daya Tarik Gedung Joang 45

October 8, 2024 12:03 pm

Museum menjadi rujukan rekam jejak sejarah suatu bangsa. Aneka koleksi yang disimpan di museum berfungsi untuk menjembatani masa lalu dan masa kini.

Bila fasilitasnya minim, tentu akan menimbulkan tanda tanya. Apa yang diharapkan darinya? Enam pilar besar bercat putih berdiri gagah menopang bangunan Museum Gedung Joang 45.

Hiasan umbul-umbul memperingati HUT ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia yang terpasang di gedung yang terletak di Jl. Menteng Raya No. 31, Jakarta Pusat itu baru dicabut.

Dari luar, bangunan Museum Gedung Joang 45, bekas Hotel Schomper pada masa Hindia Belanda itu tampak megah.

Sayangnya, kemegahan itu tidak diimbangi dengan fasilitas museum yang memadai. Hal itu mungkin yang menyebabkan masyarakat kurang tusias datang ke Museum Gedung Joang 45.

Pemandu Museum Gedung Joang 45 Untuy Supardi mengatakan, setiap hari jumlah pengunjung yang datang kurang dari 20 orang.

Bahkan, momentum hari kemerdekaan yang lalu, juga tidak mampu menarik perhatian masyarakat untuk datang ke sana.

Museum yang dulu menjadi pusat diskusi Pemuda Menteng 31 Prakemerdekaan, seperti Adam Malik, Sukarni, Chaerul Saleh, dan AM. Hanafi itu luput dari kunjungan masyarakat.

“Pengunjung ramai pada hari Sabtu dan Minggu saja. Di hari-hari lain tidak lebih dari 10 atau 15 orang saja. Padahal, harga tanda masuk museum sangat terjangkau,” ujar Untuy.

Tiket masuk dewasa seharga Rp15.000, mahasiswa Rp10.000 dan pelajar Rp5.000. Setiap hari, hanya ada Untuy dan satu orang lain yang berjaga di loket dan bisa merangkap menjadi pemandu museum.

Bahkan tak jarang petugas keamanan mengambil alih tugas menjaga loket.

Tidak Berfungsi

Pada hari-hari biasa, kadang malah kurang dari sepuluh orang yang berkunjung. Mereka kelihatan mencermati benda-benda peninggalan Jepang dan Belanda.

Ada juga fasilitas beberapa TV layar sentuh. Sayangnya tidak beroperasi. Ruang audio visual juga tidak selalu memutar film bersejarah.

Untuy mengatakan, fasilitas audio visul hanya beroperasi jika ada pengunjung yang meminta. Kondisi ini masih tak jauh berbeda dengan 7-8 tahun silam.

Gedung Joang 45 terdiri dari ruang pendahuluan. Di ruang ini diperkenalkan siapa saja tokoh-tokoh Pemuda Menteng 31.

Ada ruang masa penjajahan Jepang, ruang Diplomasi RI, ruang NKRI, area foto dan arena audio visual.

Di ruang NKRI, beragam media dipajang seperi miniatur, patung pahlawan, benda asli peninggalan tokoh-tokoh Pejuang 45, dan buku.

Di bagian belakang Gedung Joang 45 terdapat ruang pameran tiga mobil dinas yang sempat digunakan Soekarno dan Mohammad Hatta.

Ada pemandangan lucu terlihat di dalam lemari di ruang pameran. Sejumah buku yang tidak mempunyai nilai sejarah ikut dipajang.

Misalnya, buku-buku sejarah untuk siswa SD dan beberapa buku sejarah yang bisa ditemukan di toko buku.

Museum bekas asrama Pemuda Menteng itu juga dilengkapi dengan dua ruang perpustakaan. Satu perpustakaan terletak di sisi kiri, belakang gedung utama.

Tapi kita tidak bisa melihat koleksinya karena terkunci. Tidak ada papan pengumuman atau alasan yang jelas mengapa perpustakaan tersebut dikunci.

Satu perputakaan lagi ada di lantai dua Gedung Dewan Harian Nasional (DHN) 45. Gedung DHN itu terletak tepat di belakang gedung utama.

Sayang, buku-bukunya dipenuhi debu di dalam lemari itu. Sehingga, pengunjung juga tak bisa menyentuhnya untuk membuka dan mengetahui isinya.

Penjaga di sana hanya ada satu orang. Ia menatap dengan heran saat melihat orang yang masuk ke perpustakaan yang dijaganya. (DDJP/stw/df)