Antisipasi potensi kebocoran dalam pengelolaan parkir kendaraan di Jakarta masih menjadi sorotan kalangan legislator di Kebon Sirih.
Pasalnya, pengelolaan parkir menjadi satu di antara sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) potensial.
Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Alief Bintang Haryadi mendukung langkah Pemprov DKI Jakarta untuk membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Perparkiran.
Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Alief Bintang Haryadi. (dok.DDJP)
Sebab, kebutuhan penataan ruang dan sistem parkir di Jakarta semakin meningkat. Termasuk bagian dari solusi kemacetan dan optimalisasi PAD.
Alief menyakini, BUMD parkir yang dikelola secara profesional dapat menjadi sumber PAD signifikan.
Dengan sistem yang transparan dan terintegrasi, potensi kebocoran pendapatan bisa diminimalkan.
Kontribusi dari parkir terhadap keuangan daerah pun akan terus meningkat.
“Saya sangat mendukung wacana pembentukan BUMD Parkir ini,” ujar Alief, beberapa waktu lalu.
Menurut politisi Partai Gerindra itu, pengawasan terhadap BUMD lebih terukur karena masih berada di bawah kontrol pemerintah provinsi dan DPRD.
“Baik dari aspek kinerja, keuangan, maupun pelayanan publik,” tandas Alief.
Jika perparkiran dikelola BUMD, Alief meyakini, memiliki peran strategis dalam membangun sistem parkir yang tertib, transparan, dan berbasis teknologi.
Inovasi dalam pengelolaan parkir sangat penting. “Guna menghadirkan layanan publik yang lebih modern dan efisien,” ungkap Alief.
Selama ini, tutur dia, pendapatan Unit Pengelola (UP) Perparkiran Dinas Perhubungan Jakarta hanya menentukan tarif Rp30 milyar per tahun.
Padahal, UP Perparkiran punya kewenangan penuh. Dibandingkan dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jakarta, menarik pajak parkir off street 10 persen dan bisa mencapai target Rp350 milyar per tahun.
“Kalau kita lihat potensi parkir di Jakarta itu sangat luar biasa,” tambah Alief.
Berdasarkan laporan dari berbagai pihak, ungkap dia, sejumlah titik parkir di Jakarta dikuasai oleh pihak-pihak tidak resmi. Terutama juru parkir liar yang menarik tarif parkir tanpa otoritas.
Hal itu terlihat dari banyaknya warga yang mengeluhkan tarif yang tidak sesuai aturan. Bahkan tidak menerima karcis resmi sebagai bukti pembayaran.
Ia mengatakan, potensi kebocoran parkir muncul dari beberapa sumber utama.
Pertama, penggunaan sistem tunai yang masih dominan. Di era digital saat ini, parkir di Jakarta masih banyak yang dilakukan secara manual dan tidak terdokumentasi.
“Kondisi ini membuka celah besar terhadap manipulasi pendapatan,” tegas dia.
Kemudian, masalah parkir juga di antaranya terkait minim pengawasan di lapangan.
Dengan luasnya wilayah DKI Jakarta dan jumlah titik parkir yang sangat banyak, pengawasan oleh Dinas Perhubungan dan mitra pengelola menjadi tantangan tersendiri.
Tanpa pengawasan ketat dan audit berkala, angka realisasi setoran ke kas daerah sangat mungkin tidak mencerminkan pendapatan yang sebenarnya.
“Lalu juga kurangnya transparansi dalam sistem kemitraan,” tandas Alief.
Beberapa lokasi parkir dikelola oleh pihak ketiga melalui skema kerja sama. Namun tidak seluruhnya menunjukkan transparansi dalam laporan pendapatan maupun bagi hasil ke Pemprov Jakarta.
“Ini memperbesar potensi penyimpangan yang tidak terdeteksi secara cepat,” beber dia.
Alief berpendapat, parkir merupakan urusan kecil yang berdampak besar jika tidak dikelola dengan baik.
Bukan hanya pendapatan daerah yang bocor, tetapi juga akan berkontribusi terhadap kemacetan, ketertiban umum, dan kesemrawutan kota.
“Sudah saatnya Jakarta menata parkir secara serius, bukan hanya sebagai layanan publik, tetapi sebagai instrumen pengelolaan kota yang modern dan berkelanjutan,” tukas Alief.
Sebelumnya, Gubernur Pramono Anung telah menyatakan keinginannya untuk membentuk BUMD parkir guna pengelolaan yang lebih mendetail.
Ia juga sangat mendukung sistem pembayaran parkir tanpa uang tunai (cashless).
Menurut Pramono, pembayaran cashless akan membantu pengelolaan parkir di seluruh wilayah Jakarta menjadi lebih baik. (red)