Jangan menjadi tua sebelum kaya (Do not growing old before growing rich). Begitu pesan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo berkenaan dengan peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2024 pada tanggal 28 Juni. Kegiatan itu mengambil tema ‘Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas Tahun 2045’.
“Sesuai perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), Nusantara akan memiliki tak kurang dari 321 juta orang dengan sekitar 91,7 juta keluarga. Ini berarti, setiap keluarga rata-rata beranggotakan 3-5 warga,” ujar Ismunandar.
“Karena itu, pesan jangan menua sebelum kaya tersebut menjadi relevan ketika melihat profil keluarga di negara kita dan harapan akan adanya bonus demografi. Apalagi dikaitkan dengan asa ada Indonesia Emas sewaktu kita merayakan seabad Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Rasio ketergantungan (depedency racio) kita cenderung tinggi. Artinya, beban warga yang produktif cenderung berat,” papar Lugito.
“Depedency ratio itu apa sih,” tanya Suud.
“Dependency ratio adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia tidak produktif (anak-anak dan lanjut usia) dan jumlah penduduk usia produktif,” jawab Lugito.
“Produksi rasio ketergantungan Indonesia tahun 2045, berdasarkan proyeksi penduduk yang sering digunakan, diperkirakan mengalami penurunan hingga sekitar tahun 2030. Namun, akan kembali meningkat seiring dengan penuaan populasi,” imbuh dia.
Menurut data BPS, tambah Lugito, rasio ketergantungan negara tersebut diperkirakan meningkat menjadi sekitar 69,3 persen tahun 2045.
Artinya, ada sekitar 49 orang yang tidak bekerja (usia di bawah 15 tahun atau di atas 64 tahun) untuk setiap 100 orang yang bekerja yang berusia 15-64 tahun.
“Angka ini bisa berubah seiring dengan perubahan demografi kebijakan sosial, ekonomi dan kesehatan di Indonesia. Tahun 2035, dependency ratio di angka 48. Pada 2040, diproyeksikan menyentuh angka 50. Karena itu, Hasto Wardoyo mengingatkan, sebetulnya, bonus demografi praktis sulit dinikmati untuk akselerasi pendapatan per kapita. Setelah tahun 2035, menurut dia, diperkirakan periode bonus demografi keluarga di negeri ini hilang. Jika kita tak bisa memanfaatkan bonus demografi ini, peluang untuk bangsa ini bisa kaya dan keluar dari middle inbcome trap menjadi sangat kecil Jendela bonus demografi pun semakin sempit. Jendela peluang bonus demografi terjadi saat dependency ratio di bawah 50, seperti pernah diulas Harian Kompas pada terbitan 29 Juni 2024 lalu,” ujar dia.
“Selain masih dihadapkan pada ratio ketergantungan penduduk yang tinggi dan belum optimalnya pemanfaatan bonus demografi, keluarga di negeri ini juga dihadapkan pada masalah tengkes (stunting) dan kemiskinan. Kualitas keluarga kita dinilai masih rendah. Indeks kebahagiaan keluarga Indonesia mencapai 71,89 persen. Sementara, indeks ketenteraman masih di angka 59,79 persen dan indeks kemandirian 52,49 persen. Sehingga, keluarga nasional kita masih masuk kategori rapuh,” tambah dia.
“Padahal, keluarga adalah satuan terkecil dalam masyarakat yang menyusun sebuah bangsa. Bagaimana masa depan negara ini jika keluarganya masih rapuh? Tapi, sekecil apa pun, bonus demografi masih bisa dioptimalkan, dan masih selalu masih ada harapan,” papar dia. (stw)