Syekh Quro, Ulama Betawi Pertama

December 3, 2024 11:02 am

Menelusuri akar dan geneologi ulama Betawi tentu tak bisa terlepaskan dari masuknya Islam di Betawi. Begitu sebutan klasiknya Jakarta waktu itu. Seperti sejarah masuknya Islam di Nusantara yang banyak versi, begitu pula dengan sejarah masuknya Islam di tanah Betawi.

Tidak ada pendapat yang sama tentang kapan Islam mulai masuk untuk mengawali perkembangannya di wilayah yang sekarang bernama Jakarta dan menjadi ibukota negara ini.

Menurut Abdul Aziz, dalam Islam dan Masyarakat Betawi, terdapat beberapa versi mengenai awal masuknya Islam di Betawi. Islam masuk di Betawi pada saat Fatahillah (Fadhillah Khan) menyerbu Sunda Kelapa untuk mengusir pendudukan bangsa Portugis apada 22 Juni 1527.

Sedangkan menurut catatan Portugis, panglima tentara Demak yang berhasil mengusir mereka dari Kota Bandar Kalapa bernama Faletehan. Ketika itu, Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa.

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cirebon ( 172 Masehi), nama pemimpin tentara tersebut adalah Fadhillah atau Fadhillah Khan. Setelah berhasil direbut, Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta.

Versi yang lain datang dari  Budayawan Betawi Ridwan Saidi. Menurut dia, Islam masuk pertama kali di tanah Betawi dari kedatangan Syekh Hasanuddin yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro, seorang ulama yang berasal dari Kamboja pada 1409.

Berawal dari tahun tersebut, Ridwan Saidi membuat fase perkembangan Islam dan sejarah keulamaan Betawi. Sayangnya, Ridwan Saidi tidak menyebut Fatahillah, Dato Wan, dan Dato Makhtom pada fase perkembangan Islam Betawi 1522-1650.

Ridwan Saidi juga mengatakan, pada fase lanjutan antara 1650-1750 tidak ada rekam jejak ulama Betawi yang tertulis maupun lisan. Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527), Ridwan Saidi menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya.

Antara lain Syekh Quro, Kian Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke.

Beberapa Fase Penyebaran

Geneologi Intelektual Ulama Betawi Rakhmat Zailani Kiki menyebutkan, ada beberapa fase  penyebaran Islam di Betawi. Fase awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya terjadi pada tahun 1418-1527.

Ulama yang memiliki peran pada masa itu yaitu Syekh Quro, Kian Santang, Pangeran Sjarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait,  Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawa Bangke.

Fase lanjutan penyebaran Islam di Tanah Betawi terjadi pada tahun 1522-165. Pada masa itu, terdapat tokoh ulama Fatahillah (Fadhillah Khan), Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri  Kampung Padri,dan Kong Ja’mirin Kampung Marunda.

Fase lanjutan kedua penyebaran Islam terjadi pada 1650-1750. Pada fase ini terdapat nama Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid Al-Manshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu, Demak, yang berbasis di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang.

Sedangkan fase perkembangan Islam pertama terjadi pada 1750 sampai awal abad ke-19. Pada fase ini, muncul nama Habib Husein Alaydrus Luar Batang dan Syekh Junaid al-Betawi, Pekojan.

Fase kedua perkembangan Islam dari abad ke-19 sampai sekarang. Pada fase perkembangan Islam terakhir ini, Abdullah Syafi’ie (1910-1985) mengambil peranan. Abdullah Syafi’ie telah mengalami pengalaman hidup dan banyak peristiwa sejarah yang dilaluinya.

M Zubair dalam jurnal Sejarah Hidup KH Abdullah Syafi’ie menyebutkan, sebagai bagian dari masyarakat Betawi, Abdullah Syafi’ie hidup dalam suasana pengembangan Islam dalam bentuk pengajian pada para guru mengaji atau ulama yang bersalah dari keturunan Arab Yaman atau Hadramaut.

Diwariskan dari Masa ke Masa

Tradisi keagamaan ini diteruskan dan diwariskan dari masa ke masa kepada masyarakat Betawi.Masyarakat Betawi memandang bahwa para penjajah itu adalahkafir. Sehingga, segala yang berbau penjajah harus dijauhi.

Termasuk bersekolah pada lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda. Orang Betawi ketika itu lebih senang belajar dari satu mualim kepada mualim yang lain, dari satu guru kepada guru yang lain.

Di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka di bidang agama. Pondok pesantren,  madrasah, dan majlis taklim.

Dari ketiga jenis institusi itu, pondok pesantren merupakan institusi pendidikan tertua di Betawi dibandingkan yang yang lainnya. Yakni, sejak abad ke-14 dengan berdirinya Pondok Pesantren Syekh Quro.

Menurut Rakhmad Zailani Kiki, sebelum kemerdekaan, model pondok pesantren di Betawi adalah  pondok pesantren salafi. Salah satu pondok pesantren salafi yang terkenal adalah yang didirikan oleh Guru Marzuki, Cipinang Muara.

Hampir semua orang tua Betawi pada zaman itu yang ingin anaknya menjadi ulama memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren Guru Marzuki Cipinang Muara.

Nor Huda dalam Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia menjelaskan, madrasah yang pertama kali berdiri di Betawi adalah Madrasah Jam’iyatul Khair yang didirikan oleh Ali dan Idrus yang berasal dari keluarga Shahab.

Ulama Betawi yang pernah dididik di madrasah ini antara lain, Syekh Dr Nahrawi Abdussalam al-Indunisi. Kemudian Madrasah  Unwanul Falah, Kwitang, yang didirikan  oleh Habib Ali al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) pada 1911.

Murid-murid yang dididik di madrasah ini banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka. Antara lain, KH Abdullah Syafi’ie, KH Thohir Rohili, KH Zayadi Muhadjir, KH Ismailo Pendurenan, KH Muhammad Naim Cipete, KH FathullahHarun, dan Mu’allim KH Syafi’i Hadzami.

Setelah itu, berdiri  Madarasah Al-Ihsaniyah di Salemba Tegalan yang salah satu muridnya adalah KH Fathullah Harun.

Majlis Taklim merupakan institusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai tempat pendidikan umat. Hal ini karena sebagian besar majlis taklim dari dahulu sampai sekarang, khususnya di Betawi, menjadikan masjid sebagai aktivitasnya dan sangat berperan penting dalam melahirkan  ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya.

Dari penelitian Ridwan Saidi dan Alwi Shahab yang disampaikan dalam seminar Geneologi Intelektual Ulama Betawi pada 2017 terungkap bahwa Majlis Taklim Habib Ali Kwitang (Habib Ali al-Habsyi) yang pertama kali beraktivitas pada 20 April 1870, sebagai majlis taklim tertua di Betawi.

Setelah Habib Ali Kwitang wafat, majelisnya diteruskan oleh anaknya, Habib Muhammad al-Habsyi. Kemudian  dilanjutkan oleh cucunya, Habib Abdurrahman al-Habsyi.

Dari Majelis Taklim Habib Ali Kwitang inilah muncul ulama-ulama besar Betawi, seperti KH Abdullah Syafi’ie,  pendiri Perguruan Islam Asy-Syafi’iiyah dan KH Tohir Rohili, pendiri Perguruan Islam Ath-Thahiriyah.

Keduanya lalu mendirikan Majelis Taklim Asy-Syafi’iiyah di Bali Matraman, Manggarai, Jakarta Selatan dan Majelis Taklim Ath-Thahiriyah di Jl Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan.

Kedua majelis taklim ini kemudian berkembang pesat, sehingga memiliki perguruan Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi. Dalam perkembangannya, kedua majelis taklim tersebut lebih mwnonjol kepesertaannya dari kalangan ibu-ibu atau peremuan dan dipimpin oleh anak-anak perempuan  mereka, Prof DR H Tuti Alawiyah (alm) dan Hj. Suryani Tohir (alm).

Syekh Quro 

Dari hasil penelitian Ridwan Saidi dalam Potret Budaya Manusia Betawi terungkap, ulama pertama Betawi tak lain adalah Syekh Quro Karawang. Nama lain Syekh Quro adalah Syekh  Qurotul’ain, Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanuddin. Ia dipanggil Syekh Quro karena ia ahli mengaji atau qiraat yang sangat merdu.

Alasan Syekh Quro dijadikan sebagai ulama pertama Betawi oleh Ridwan Saidi karena kiprahnya dalam mengislamkan orang-orang Betawi yang berada di Karawang. Itu sebabnya, ia juga terkenal dengan sebutan Syekh Quro Karawang.

Kendati Syekh Quro berasal dari Campa (Kamboja), ia juga mempunyai murid yang kemudian menyebarkan Islam sampai ke wilayah Sunda Kalapa (Betawi).

Karawang sendiri menurut Ridwan Saidi dalam bukunya Potret Budaya Manusia Betawi, termasuk dalam wilayah kebudayaan Betawi. Diterimanya Syekh Quro oleh orang Betawi di Karawang karena ia adalah orang Campa.

Masih menurut Ridwan Saidi, orang Campa adalah orang Melayu yang pernah memiliki kerajaan dan mereka mempunyai hubungan erat dengan orang-orang Malabar yang juga akrab dengan orang-orang di Jawa bagian barat, sejak kurun waktu sebelum Masehi.

Baik orang Campa maupun orang Betawi, sudah biasa dengan kehidupan yang pluralis. Sehingga, transformasi nilai-nilai Islam ke komunitas Betawi tidak mengalami kesulitan. Ditambahkan pula, kisah orang Campa yang menyebarkan Islam di Karawang, tidak hanya berhenti di Syekh Quro.

Di Batu Jaya, Karawang misalnya, terdapat sebuah makam yang dihormati berlokasi di tepi Sungai Citarum. Makam itu adalah Guru Toran yang berdarah Campa.

Menurut Jojo Sukmadilaga dalam Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul’ain dijelaskan, tidak diketahui mengapa dipanggil Syekh Qurotul’ain atau Syekh Musyahadatillah. Sedangkan nama Syekh Hasanuddin diyakini sebagai nama aslinya.

Syekh Quro adalah putra dari salah seorang ulama besar di Makkah, yaitu Syekh Yusuf Siddik yang menyebarkann Agama Islam di Campa.

Syekh Yusuf Siddik masih keturunan Sayidina Husain bin Sayidina Ali RA. Tidak diketahui dengan pasti tentang riwayat masa kecil dari Syekh Quro. Sumber tertulis hanya menjelaskan bahwa pada 149 Masaehi setelah berdakwah di Campa dan Malaka, Syekh Quro mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura hingga akhirnya sampai ke Pelabuhan Muara Jati, Cirebon, Jawa Barat. (stw/df)