Sunda Kalapa-Batavia Lalu Jakarta

September 20, 2024 10:11 am

Jakarta, dulu dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda bernama Sunda Kalapa. Lokasinya di muara Sungai Ciliwung. Sedangkan Ibukota Kerajaan Sunda, dikenal dengan sebutan Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (Bogor-sekarang), dapat ditempuh selama dua hari perjalanan dari Pelabuhan Sunda Kalapa.

Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda, selain Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk.

Sunda Kalapa, dalam teks sejarah berbahasa Portugis disebut Kalapa karena merupakan pelabuhan terpenting yang dapat ditempuh selama dua hari dari Ibukota Kerajaan Dayo.

Dalam Bahasa Sunda modern disebut Dayeuh yang artinya ibukota. Kerajaan Sunda merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5.

Berarti Pelabuhan Sunda Kalapa sudah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan sebagai ibukota dari Kerajaan Tarumanagara yang disebut Sundapura.

Pada abad ke-12, Pelabuhan Sunda Kalapa terkenal ke mancanegara. Dikenal sebagai pelabuhan terbesar di dunia dan menjadi pusat berlabuhnya kapal-kapal dagang dari Eropa, Tiongkok, India Selatan, Jepang, dan Timur Tengah.

Kapal-kapal itu membawa porselin, kopi, sutra, kain, anggur, kuda, wewangian, zat pewarna untuk ditukar dengan rempah-rempah.

Di Pelabuhan Sunda Kalapa ini pula terjadinya komoditas dagang terbesar waktu itu. Orang Portugis merupakan orang Eropa pertama yang datang ke Sunda Kalapa.

Pada abad ke-16, Surawisesa (Raja Sunda) meminta bantuan orang Portugis yang berada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kalapa sebagai benteng pertahanan atau perlindungan.

Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi serangan dari Kerajaan Cirebon yang bermaksud memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.

Permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam pantun seloka Mundinglaya Dikusumah. Surawisesaa diselokakan dengan nama gelarnya, yaitu Mundinglaya.

Namun sebelum benteng tersebut berdiri, Fatahillah dari Kerajaan Cirebon yang dibantu pasukan dari kerajaan Demak langsung menyerang Pelabuhan Sunda Kalapa pada 22 Juni 1527.

Tragedi itu, selain membumihanguskan kota pelabuhan, syahbandar pelabuhan, juga memakan banyak korban jiwa.

Setelah berhasil merebut Sunda Kalapa, Fatahillah mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta yang artinya ‘Kota Kemenangan’.

Selanjutnya, Fatahillah dari Kasultanan Cirebon menyerahkan Pemerintahan Jayakarta kepada Sultan Maulana Hasanuddin yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.

Belanda datang ke Jayakarta sekitar abad ke-16, setelah singgah di Banten pada 1596. Pada awal abad ke-17, Jayakarta diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten.

Pada 1619, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen, berhasil menduduki Jayakarta setelah berhasil merebut kekuasaan dari Kesultnanan Banten.

Lalu, mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Ketika Kolonial Belanda berkuasa, Batavia menjadi kota besar dan sangat penting.

Guna memperlancar pembangunan di berbagai sektor, Belanda banyak mengimpor budak-budak belian dari Bali, Sulawesi, Maluku,, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India.

Berbagai kalangan pihak berpendapat, mereka inilah yang kemudian hari membentuk komunitas yang dikenal dengan Suku Betawi.

Luas Batavia waktu itu hanya mencakup daerah yang sekarang sebagai Kota Tua di wilayah Jakarta Barat.

Taktik Devide et Impera

Sebelum kedatangan para budak belian, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta. Antara lain di wilayah Jatinegara Kaum, sekarang.

Sedangkan etnis pendatang lainnya pada zaman kolonial Belanda, masing-masing membentuk komunitas. Sebab Belanda menggunakan taktik adu domba (devide et impera).

Sehingga, banyak sekali ditemukan bekas-bekas komunitas di Jakarta. Antara lain Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kmpung Ambon, Kampung Bali, Matraman, Manggarai, dan sebagainya.

Pada 1 Januari 1926, Pemerintah Hindia Belanda membagi Pulau Jawa menjadi tiga provinsi. Yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Sedangkan Batavia dijadikan salah satu karesidenan dalam Provinsi Jawa Barat di samping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.

Pada 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Tragedi berdarah itu membuat orang Tionghoa lari ke luar kota dan melakukan perlawanan kepada Belanda.

Setelah pembangunan Koningsplein (Gambir) selesai pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman di Menteng.

Wilayah ini menjadi tempat baru bagi para petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara.

Di awal abad ke-20, Batavia di utara, Koningsplein, dan Mester Cornelis (Jatinegara sekarang), telah terintegrasi menjadi sebuah kota.

Ketika penjajahan Jepang terjadi pada 1942, Batavia lalu diganti namanya menjadi Jakarta untuk menarik penduduk pada Perang Dunia II.

Tahun 1945, Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945. Tetapi Belanda masih menguasai Indonesia sampai pengakuan kedaulatan tahun 1947.
Lonjakan pesat

Sejak terjadi perubahan sebagai ibukota negara, jumlah penduduk Jakarta melonjak pesat. Dalam kurun waktu lima tahun, penduduknya bertambah dua kali lipat.

Lalu muncul kantung-kantung permukiman kelas menengah baru. Lantas berkembang pesat. Seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Rawamangun, dan Pejompongan.

Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan instansi milik negara, seperti Perum Perumnas dan Papan Sejahtera.

Pada masa Pemerintahan Soekarno-Hatta, Jakarta melakukan pembangunan beberapa proyek besar. Antara lain Gelora Senayan Gelora Bung Karno, sekarang), Stadion Utama Senayan, Jembatan Semanggi, dan Sarinah.

Termasuk pembangunan Istora Senayan, Velodrom Rawamangun, Masjid Istiqlal, Monumen Nasional dan sebagainya berkenaan dengan pesta olahraga Asia (Asian Games) pada tahun 1962.

Saat itu juga, poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara.

Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah, oleh PT Pembangunan Jaya pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.

Jakarta memiliki luas 661,52 km2. Terdiri dari 6.977,5 km2 lautan dengan jumlah penduduk 12,5 juta jiwa (Sensus 2020).

Bersama metropolitan Jabodetak (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa, wilayah ini merupakan kota metropolitan. Terbesar di Indonesia, menempati urutan keenam dunia.

Kini, wilayah Jabodetabek sudah terintegrasi dengan wilayah Bandung Raya. Megapolis Jabodetabek-Bandung Raya, mencakup sekitar 30 juta jiwa dan menempatkan wilayah ini diurutan kedua dunia setelah Megapolis Tiongkok.

Di usia ke-497, Kota Jakarta mempunyai motto ‘Jakarta Kota Global, Berjuta Pesona’ semakin tertata. Semakin dicinta, kendati sudah tidak berstatus ibukota negara.

Ibukota negara berubah menjadi Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berpusat di Kalimantan Timur. Nama Jakarta pun berubah menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Siap-siap menjadi kota global (global city).

Di mata masyarakat Jakarta, H.Ali Sadikin (alm) hingga kini tetap menjadi sosok yang bukan hanya dikenal sebagai mantan Gubernur Provinsi DKI Jakarta.

Namun, Ali Sadikin dinilai berjasa besar dalam mengubah Jakarta dari sebuah kampung besar (Big Village) menjadi kota besar yang megah dan modern dengan berbagai proyek mercusuar pembangunan.

Kini, Jakarta sedang sibuk mempersiapkan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) pemilihan calon gubernur masa bhakti 2024-2029.

Pusat Pemerintahan Pindah

Mungkin kita pernah membayangkan seperti apa situasi kawasan pemerintahan di Batavia zaman Hindia Belanda dulu.

Tidak sulit melacaknya. Batavia tempo dulu sedikit banyak tidak ubahnya dengan Jakarta saat ini sebagai pusat pemerintahan.

Letak lembaga pemerintahannya di seputar kawasan itu-itu juga. Jika ada yang berubah, mungkin hanya fungsinya. Ditambah profil bangunan yang sudah mengalami sentuhan arsitektur modern.

Pusat Kota Jakarta pada zaman Belanda dulunya berada di sepanjang pesisir pantai. Namun sejak kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda dipegang Gubernur Jendral Willem Herman Daendels (1808), mulai berubah.

Saat itu, Daendels mendapat amanat dari Raja Lodewijk Bonaparte (adik kandung Napoleon Bonaparte, saat itu Perancis berkuasa di Belanda) agar memindahkan pusat Kota Batavia.

Sebab, posisi Ibukota Batavia lama dianggap telah menjadi sarang penyakit. Daendels memindahkan pusat kota sejauh 15 kilometer dari Kota Tua, yaitu di daerah Weltevreden (sekitar Gambir).

Berdasarkan beberapa catatan sejarah, kawasan itu sebenarnya sudah berpenghuni sejak 1648. Kala itu, pemerintah kolonial memberikan sebidang tanah kepada Anthonij Paviljoun.

Kemudian, lahan tersebut dikembangkan menjadi rumah-rumah peristirahatan kecil Weltevreden (yang artinya suasana tenang dan puas).

Lalu pada 1693, tanah itu menjadi milik Cornelis Chastelein, seorang anggota Dewan Hindia Belanda. Di sana dibuat perkebunan kopi dengan memanfaatkan budak-budak yang diambilnya dari Bali.

Pada 1733, Justinus Vinck membangun dua pasar di kawasan itu, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Dua tahun kemudian, ia juga membuat jalan yang menghubungkan kedua pasar tersebut.

Jalan yang menghubungkan pusat perdagangan di timur dan barat itu dinamai Jl. Prapatan dan Jl. Kebon Sirih.

Pesatnya pembangunan di kawasan itu menjadi alasan utama Daendels membangun Istana Paleis van Daendels atau disebut juga Het Groote Huis.

Istana itu menjadi pusat pemerintahan Daendels. Letaknya berhadapan dengan Lapangan Parade Waterlooplein yang sekarang dikenal sebagai Lapangan Banteng.

Istana itu dirancang Letnan Kolonel JC Schultze, berpengalaman membangun Gedung Societet Harmonie di Batavia.

Walau keadaan keuangan Pemerintah Belanda pada waktu itu mengalami krisis, pembangunan tetap dilaksanakan.

Untuk menyelesaikan pembangunan itu, Pemerintah Belanda mengambil bahan-bahan bekas dari bangunan-bangunan dalam Kastil Batavia di Kota Tua yang dirobohkan Daendels.

Gedung itu baru diselesaikan dengan baik pada masa Pemerintahan Gubernur Jendral Du Bus de Ghisignies yang berkuasa pada 1826. Penyelesaian istana itu berkat bantuan tenaga Insinyur Tromp.

Sedangkan untuk tempat latihan militer, Daendels mengalokasikan lapangan Buffelsveld (Lapangan Kerbau) atau disebut Champs de Mars.

Lapangan itu sekarang menjadi Lapangan Monumen Nasional (Monas). Sesudah masa kuasa sementara Inggris (1818), lapangan itu bernama Koningsplein (Lapangan Raja).

Lapangan itu dikelilingi Museum Gajah, Istana Merdeka, serta Stasiun Weltevreden yang sekarang bernama Stasiun Gambir.

Pusat Moneter

Istana Daendels itu kini menjadi Kantor Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Di sebelah kiri pintu gerbang kanan Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu) lama tersebut terdapat prasasti bertuliskan “MDCCCIX CONDIDIT DAENDELS. MDCCCXXVIII EREXIT DU BUSW” sebagai tanda peresmian Du Bus pada 1928.

Di belakang gedung itu, konon pernah ditanami berbagai macam tanaman hias sebagai kebun-kebun botani. Namun sayangnya, kebun itu kini sudah tidak berbekas.

Pemanfaatan tata ruang yang tak jelas itulah salah satu penyebabnya. Ruangan bawah gedung yang mengelola keuangan Pemerintahan Hindia Belanda itu juga dipakai sebagai Kantor Pos dan Percetakan Negara.

Pada zaman pendudukan Jepang, gedung ini tetap digunakan untuk kegiatan keuangan sehari-hari. Perhitungan hasil rampasan dan kalkulasi biaya perang dirancang di gedung ini.

Hingga terakhir, Jepang menyerah kepada Sekutu. Lalu pada 1 Mei 1848, gedung ini dipakai Departemen van Justitie (Kehakiman), selanjutnya dipakai menjadi gedung Induk Departemen Keuangan.

Hingga kini, Gedung Kantor Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Pusat keputusan moneter negara. Bahkan menjadi salah satu gedung cagar budaya. (DDJP/stw/df)