Mari kembali mereguk ilmu dari salah satu pemimpin paling sederhana dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab RA. Suatu ketika, Utbah bin Farqad yang menjabat sebagai gubernr Azerbaljan disuguhi makanan oleh rakyatnya.
Ia dihidangkan habisah, olahan dari kurma dan minyak samin. Makanan tersebut teramasuk salah satu makanan terklezat di wailayah itu.
“Betapa manis dan lezatnya makanan ini. Jika kita kirim ke Amirul Mukminin di Madinah, tentu dia senang,” ucap Utbah.
Ia pun mengirim utusan beserta makanan kepada Umar bin Khattab RA. Saat Umar menyantapnya, ia bertanya: “Makanan apa ini?” Salah seorang utusan menjawab: “Makanan ini habish, salah satu makanan paling lezat di wilayah kami.”
Lalu, Umar berkata: “Apakah semua rakyat bisa menikmati makanan ini?” Sang utusan pun menjawab: ”Tidak. Hanya orang tertentu saja yang bisa menikmati makanan ini”.
Seketika rona wajah Umar bin Khattab berubah. Ia kemudian langsung menyuruh dua utusan itu pulang ke Azerbaijan.
Umar juga menitipkan surat kepada sang gubernur. “Makanan semanis dan selezat ini tidak dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkanlah dulu perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu”.
Itulah Umar bin Khattab. Ia amat berhati-hati saat menjadi pemimpin. Sebab dia sadar, semua yang ia lakukan pada suatu nanti akan dihisab.
Hisabnya pemimpin akan lebih berat. Umar menahan diri untuk tidak makan daging, minyak samin, dan keju sebagai rasa empati kepada rakyatnya. Ia tak bisa menikmati makanan yang lezat, sementara rakyatnya kelaparan.
Umar bin Khattab adalah pemimpin kaum Muslimin. Sebuah mercusuar peradaban baru. Bahkan pada masa pemerintahannya, daerah Islam bertambah luas.
Namun, sang pemimpin tertinggi hanya menghalalkan dua jenis baju untuknya. Tak lebih. “Tak halal bagiku harta yang diberikan Allah, kecuali dua pakaian. Satu untuk dikenakan di musim dingin dan satu di musim panas”.
Tentu saja memiliki pakaian adalah sesuatu yanga diperbolehkan. Bahkan menjadi wajib jika tanpa pakaian ia tak bisa menutup auratnya.
Namun, Umar bin Khattab bisa menahan keinginan memiliki pakaian hanya karena ingin saja. Ia mengambil sesuatu yang halal secukupnya untuk dirinya.
Ia juga merasa heran dengan seseorang yang membeli daging hanya karena ingin beli. Ia teringat firman Allah SWT:
“Kalian telah menghabiskan (rezeki) yang baik untuk kehidupan duniamu dan kalian telah bersenang-senang (menikmati)-nya”. (QS Al-Ahqaf (46):20)
Berorientasi pada Akhirat
Membeli daging tentu saja bukan seabuah kaesalahan. Namun, Umar bin Khattab lebih berorientasi pada akhirat.
Ia menahan keinginan berupa kesenangan di dunia agar ia bisa menikmatinya nanti di akhirat. Sejatinya, seperti itulah puasa kita pada Ramadhan kali ini.
Puasa adalah menahan hal-hal yang sejatinya halal dikerjakan pada batas waktu tertentu. Makan, minum, berhubungan suami-istri adalah kebutuhan yang halal dipenuhi.
Namun orang beriman, berpuasa dengan niat menahan hal-hal tersebut pada batas waktu tertentu.
Puasa mengajarkan kita untuk tak berlebihan mencari hal-hal berbau kesenangan. Meskipun yang menyenangkan tersebut sifatnya halal. Jika dengan yang halal saja ia bisa menahan, apalagi dengan yang haram.
Maka, ia merasa jijik dengan perbuatan maksiat. Bukan sekadar menahan, namun memberi perbuatan haram tersebut.
Jika ia sudah berhati-hati terhadap yang halal, kemudian amat benci pada perbuatan maksiat, maka derajat takwa mungkin pantas disematkan pada orang tersebut.
Kunci puasa adalah pengendalian. Puasa melatih jiwa kita agar terbiasa mengendalikan diri dari hal yang halal dan membenci hal yang haram.
Ketika berpuasa, Allah akan memberikan dua kebahagiaan. Bahagia saat berbuka dan bahagia saat bertemu Rabb-nya. Betapa nikmatnya berbuka puasa kemudian bisa bertemu Allah SWT.
Semua kelelahan, keinginan, rasa lapar tak lagi diingat kala seteguk air membasahi saat berbuka. Begitulah kebahagiaan. Ia harus melalui fase menahan diri dari apa-apa yang bisa melenakannya.
Kesenangan adalah dunia. Jika seorang Mukmin bisa menahan diri dari dunia, maka ia akan mendapatkannya di akhirat kelak.
Saat itulah berbuka menjadi sebuah bentuk kesenangan. Bahkan, sampai kesenangan yang tak pernah terbayangkan oleh akal manusia. (DDJP/stw/rul)