Sisa-Sisa Landmark Betawi (1-Bersambung)

June 26, 2024 6:21 pm

Generasi muda Betawi yang lahir tahun 1990-an sudah banyak yang tak mengenal bahasa, seni budaya, atau kuliner khas Betawi. Bahkan, orang Betawi saat ini sedikit yang memanggil ‘Nyak’ kepada orangtua perempuan.

Begitu pula sebutan ‘Ncang’ dan ‘Ncing’, hampir jarang terdengar di kampung-kampung Jakarta. Lalu, bagaimana dengan lokasi-lokasi yang dulu dikenal sebagai tempat tinggal orang-orang Betawi?

Seperti Kemayoran (Jakarta Pusat), Kampung Condet (Jakarta Timur), Setu Babakan (Jakarta Selatan), Rawa Belong (Jakarta Barat) atau Marunda (Jakarta Utara). Kendati penampakan lokasi Kampung Betawi itu sudah jauh berbeda, tetapi legenda yang pernah mewarnai kampung-kampung tersebut masih lestari hingga kini.

Kampung Kemayoran
Nama Kemayoran tak asing bagi orang Jakarta. Bahkan, orang-orang pendatang dari berbagai daerah. Kenapa? Karena di daerah ini banyak kisah yang bisa disimak. Nama tersebut diambil karena banyaknya sang Mayor yang tinggal di kawasan ini.

Sebelum dibangun lapangan terbang, daerah ini belum punya nama. Bandar Udara Kemayoran, dibangun pada tahun 1934 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan diresmikan pada 8 Juli 1940 sebagai lapangan terbang internasional.

“(Saat itu) dikelola Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy (KNILM),” ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Misan Samsuri.

Berbagai seni budaya daerah, baik yang khas Betawi maupun serapan dari etnis lain, banyak berkembang di Kampung Kemayoran. Di antaranya, Keroncong Kemayoran.

Sehingga, Kemayoran dikenal sebagai kampungnya musik keroncong yang terkenal pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Orkes Keroncong Kemayoran menurut sejarahnya, tampil pertama kali di depan umum pada tahun 1922.

Sejak saat itu, Keroncong Kemayoran sering dapat panggilan dari orag-orang Belanda dan orang-orang China kaya uutuk memeriahkan pesta perkawinan atau ulang tahun.

Tak ketinggalan pula, mereka sering mengikuti perlombaan orkes keroncong yang diselenggarakan tiap tahun di Pasar Malam Gambir dengan mengenakan pakaian khas Betawi berupa jas tutup dan kain batik.

Selain keroncong, seni budaya yang digemari masyarakat waktu itu antara lain Rebana Gembrung, Wayang Kulit, Tanjidor, Cokek Ken Bun,Orkes Gambus, dan Gambang.

Kesenian tersebut berkembang pesat di awal abad ke-20 dan mulai meredup karena kehilangan penggemarnya sejak tahun 1970-an. Musik Gambang yang berkembang di Kemayoran memperoleh pengaruh budaya China, tetapi irama lagunya berdialek Betawi.

Sehingga populer disebut Gambang Kemayoran, bukan Gambang Kromong, karena tidak menggunakan alat musik kromong. Lagu-lagu yang populrr dan digemari saat itu antara lain Onde-onde, si Jongkong, Kopyor dan Kapal Karem.

Pada tanggal 31 Maret 1985, Bandara Kemayoran resmi ditutup operasinalnya karena dianggap sudah tidak layak lagi sebagai bandar udara interasional. Sebab, letakmya berada agak di tengah kota, sekaligus mengacu pengembangan pembangunan di wilayah Jakarta Utara.

Walau sudah ditutup, suasana tetap seperti sedia kala, walau tanpa operasional dan aktivitas penerbangan. Area Bandara Kemayoran seluas 454 hekatare itu diambilalih pemerintah dari Perum Angkasa Pura I sebagai aset negara berdasarkan Perpu Nomor 31 Tahun 1985.

Eks Bandara Kemayoran sekarang ini menjadi tempat perhelatan akbar seperti Pekan Raya Jakarta (PRJ) setelah pindah dari area Monas. Kegiatan itu dibuka setiap tahun, seiring dengan peringatan Hari Ulang Tahun Kota Jakarta.

Hingga kini, banyak Seni Budaya Betawi khas Kemayoran yang masih bisa dijumpai. Terutama pada momentum penting, seperti HUT Kota Jakarta dan Sidang Paripurna DPRD DKI Jakarta.

Tetapi, seni budaya khas Betawi itu perlahan menghilang dari masyarakat tergerus perkembangan zaman yang semakin modern dan semakin canggih.

Kampung Condet
Menyebut Condet sekarang, yang terbayang hanya daerah pemukiman padat penduduk. Padahal, kawasan ini dulu sangat spesial. Kekhasan Condet berawal dari dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor D.IV-IV-115/e/3/1974.

Dalam peraturan itu antara lain disebutkan, kawasan Condet diteapkan sebagai wilayah Cagar Buah-buahan dan Budaya Condet. Wilayah cagar tersebut mencakup tiga kelurahan di Kecamatan Kramatjati. Yakni Kelurahan Batu Anpar, Bale Kambang, dan Kampung Duku.

Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Gubenur DKI Jakarta Ali Sadikin itu menetapkan, pembangunan Condet seluas 18.000 hektare itu harus dibatasi. Misalnya, dengan menetapkan aturan koefisien dasar bangunan (KDB) hanya 20 persen dari luas tanah. Artinya, lahan yang terbangun maksimal hanya 20 persen dari luas lahan.

Dalam perkembangannya, Wakil Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Taufik Azhar, peraturan itu tidak bisa diterapkan lagi di Condet. Khususnya di wilayah Batu Ampar. Karena permukiman dan pertumbuhan penduduk di sana berkembang sangat pesat seiring pesatnya arus pendatang dari berbagai daerah.

Padahal, dulu Condet dikenal dengan hasil perkebunan, khususnya salak Condet, dan kawasan hijau. Kini, tidak terdengar lagi Condet sebagai penghasil duku dan salak. Kawasan Condet hampir tak berbeda dengan permukiman lain.

Padat dan hiruk pikuk penduduknya pun lebih banyak pendatang dibanding orang Betawi asli. Sejarawan Alwi Shahab pernah mengemukakan, Condet dulu merupakan salah satu kawasan yang 90 persen penduduknya asli Betawi dan Condet kaya akan kebun berpohon rindang.

Sehingga udaranya bersih, penuh kicauan burung kakatua jambul putih, bayan, nuri dan banyak monyet-monyet yang melompat dari pohon ke pohon lainnya.

Rata-rata orang Condet bertanam buah-buahan. Terutama duku dan salak. Pohon duku di Condet banyak yang sudah berumur puluhan tahun. Condet juga penghasil pisang, durian, dan meninjo yang diolah menjadi emping yang sangat gurih.

Kekhasan Condet terlihat dari Bahasa Betawi yang mereka gunakan, adat istiadat yang banyak mengambil nilai-nulai Islam, serta bentuk rumah mereka. Rumah asli Condet, berlantai tanah dan berdinding kayu.

Perkembangan selanjutnya, warga Condet pernah mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar mencabut SK Gubernur yang menetapkan Condet sebagai daerah Cagar Budaya Betawi .

Sejak saat itu, pertumbuhan permukiman seolah tak terbendung hingga saat ini.

Kampung Setu Babakan
Jika beberapa kampung Betawi berkembang sesuai zaman dan tidak banyak campur tangan pemerintah, lain halnya dengan Kampung Setu Babakan di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Kampung Setu Babakan adalah kampung yang sengaja ditumbuhkan dan dilestarikan sebagai pPusat Budaya Betawi. Memiliki luas lahan 165 hectare. Jumlah penduduk sekitar 3.000 kepala keluarga (KK) itu merupakan orang Betawi tulen.

Di kampung ini, Budaya Betawi bisa dengan jelas dirasakan oleh pengunjung. Mulai dari pembuatan kuliner, seperti bir pletok, kerak telor, kue kaak, kembang mayang dan sebagainya.

Setu Babakan benar-benar sudah menjadi tujuan wisata Budaya Betawi. Sehingga kawasan ini siap dengan kebutuhan wisata. Misalnya, ada pertunjukan kesenian yang bisa disaksikan setiap hari Minggu.

Rumah-rumah di kawasan ini juga masih melestarikann bangunan bergaya Betawi dengan ukirannya yang khas. Intinya, jika berkunjung ke Kampung Setu Babakan, masyarakat bisa merasakan atmosfir Betawi yang sangat kental.

Selain itu, kawasan ini juga punya dua situ. Yakni Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Di sana masyarakat atau pengunjung Setu Babakan maupun Setu Mangga Bolong dan dapat menikmati kesejukan udara di pinggir setu.

Pelancong atau wisatawan juga bisa menikmati wisata air dan menikmati kuliner khas Betawi yang banyak dijual di pinggir setu. (DDJP/stw/df)