Mpok Saidah sudah lama banget ingin anak lelaki satu-satunya, Sadeli menikah. Mpok Saidah sudah ingin momong cucu.
Ia sering ngedumel, rasanya nggak rela sekali mati sebelum momong cucu.
Pada suatu pagi, Mpok Saidah memanggil Sadeli untuk diajak ngobrol.
“Eh, Sadeli. Umur mu sekarang berapa,” tanya Mpok Saidah membuka pembicaraan.
“Tiga puluh dua tahun, Nyak. Emangnya kenapa,” tanya Sadeli.
“Gimana kerjaanmu? Sudah mapan kan?” tanya Mpok Saidah.
“Udah Nyak. Emangnya kenapa?” tanya Sadeli.
“Umur mu sudah cukup. Kerjaan sudah mapan. Jadi, sudah sepantasnya kamu berkeluarga. Aku sudah tua. Sudah pengin sekali momong cucu. Apa kamu sudah ada liat-liatan?” tanya Mpok Saidah.
“Iya Nyak. Sebenarnya saya sudah punya demenan. Namanya Rogayah. Saya demen sama dia. Dan dia juga demen sama saya,” kata Sadeli.
“Syukurlah, kalau begitu. Nyak siap ngelamarin,” kata Mpok Saidah sambil mengelus dada sambil mengucap syukur kepada Allah SWT.
“Tetapi Nyak, keluarganya nggak setuju,” kata Sadeli dengan nada sedih.
“Siapa yang tidak setuju? Ayahnya atau ibunya?” tanya Mpok Saidah.
“Bapak dan ibunya sih setuju saja,” jawab Sadeli.
“Nah, kalau begitu, siapa dong yang tidak setuju ?” tanya Mpok Saidah penasaran.
“Lakinya sama tiga orang anaknya,” jawab Sadeli sambil mengusap air mata. (stw)