Sepotong Sejarah Bangsa di Museum Fatahillah

February 21, 2024 6:13 pm

Kekuatan sebuah museum adalah ketika bisa mengonversi perjalanan waktu dan ruang. Satu di antaranya yakni Kamar Diponegoro yang bertempat di dalam Mueum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat.

Kamar Diponegoro tersebut memang reltif tidak luas. Hanya 120 meter persegi. Saat diresmikan pada 1 April 2019, juga tidak dihadiri banyak orang.

“Meski demikian, kita meyakini bahwa ruangan tersebut mampu menjadi tempat bagi pengunjung untuk merealisasikan perjungan Pahlawan Naaional Pangeran Diponegoro dalam merebut tanah Jakarta dari penjajah Kolonial Belanda,” ujar Wakil Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Taufik Azhar di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu.

Kamar Diponegoro itu sendiri terletak di bawah tanah. Menjadi satu dengan komaplek Museum Fatahillah. Terletak di sayap kanan museum, ruangan itu terkesan remang-remang dengan pencahayaan minim.

Ruangan makin sesak dengan penuhnya pengunjung yang ingin mengintip ruangan tersebut setelah diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, ketika itu.

Wakil Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Taufik Azhar. (dok.DDJP)

“Disebut Kamar Diponegoro, karena dari jejak-jejak sejarah yang ada, diyakini bahwa pada zaman dahulu Pangeran Diponegoro pernah ditahan oleh Belanda di Jakarta yang populer dengan sebutan Batavia pada April 1830,” ungkap Taufik.

Saat itu, cerita Taufik, Pangeran Diponegoro pernah ditahan di dalam sebuah ruangan dibekas Stadhuis yang kini menjelma menjadi Museum Fatahillah Jakarta.

Dengan desain interior berkonsep klasik, ruangan tersebut seolah membawa kita kembali ke abad ke-19 ketika banyak terjadi pertempuran di daerah antara penduduk Hindia Belanda dengan Belanda.

Menurut catatan sejarah dari pengelola museum, ruangan itu dulunya adalah apartemen pribadi yang menjadi tempat tinggal kepala dinas penjara Belanda. Apartemen itu memang sengaja dikosongkan apabila ada tahanan Eropa atau Indonesia yang memiliki status ’tinggi’.

Pangeran Diponegoro pun menempati ruangan tersebut dengan keluarganya yang terdiri dari ssaudara ipar laki-lakinya. Sedangkan di ruangan samping yang merupakan ruang tambahan dijadikan tempat tinggal untuk 16 orang pengikut setia sang pangeran.

Dengan ruangan yang minim, banyaknya orang yang menempatiny hingga belum adanya penerangan memadai, Pangeran Diponegoro saat itu pun masih harus berjuanga dengan penyakit malaria yang dideritanya.

Sejarah mencatat Sang Pangeran gemar meminum jamu temu lawak dan beras kencur serta mengunyah sirih untuk mengusir penyakitnya itu.

Meski dalam keterbatasan, selama 26 hari ditahan, Pangeran Diponegoro masih bisa menulis surat untuk ibunda dan putra aulungnya. Di dalam ruangan ini pula, sketsa wajah Pangeran Diponegoro digambar oleh Hakim Belanda saat itu sekaligus pengawas Diponegoro selama di tahanan, yakni Adrianus Johannes Jon Bik.

Bahkan hingga kini, sketsa tersebut masih terawat dengan baik dan ikut dipamerkan dalam Kamar Diponegoro tersebut. Selain ketsa wajah, tersimpan pula barang peninggalan lain. Seperti salinan artefak yang digunakan maupun diproduksi sendiri oleh Pangeran Diponegoro.

Ada pula replika tongkat ziarah Sang Pangeran yang diberi nama Kiai Cokro dan replika tombak, Kiai Rondhan. Persiapan Kamar Diponegoro tersebut melibatkan campur tangan sejarawan Peter Carey yang hafal seluk-beluk sejarah Jawa, termassuk sejarah Pangeran Diponegoro.

Dalam merangkai narasi cerita-cerita tentang Pangeran Diponegoro, Peter memiliki banyak versi untuk menjadikan suatu cerita yang lengkap dan akurat. (DDJP/stw/rul)