Sekelumit Kenali Demokrasi di Negeri Zamrud Khatulistiwa

September 5, 2024 1:04 pm

Demokrasi sebuah kata yang sering kali terdengar di telinga rakyat Indonesia. Sejak di bangku sekolah, demokrasi sudah mulai diperkenalkan. Meski bagi seorang siswa sekolah, demokrasi masih sekadar bagian dari bahan bacaan.

Kendati demikian, tidak sedikit pula kalangan masyarakat yang telah mengenalkan demokrasi secara aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Seperti memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk memilih sesuatu yang disukai.

Kendati kesempatan memilih itu diiringi dengan rambu-rambu positif berdasarkan pemahaman orang dewasa.

Bahkan terhadap anak-anak yang memasuki usia remaja, banyak para orangtua yang membiasakan pola berdiskusi dalam membangun komunikasi.

Termasuk dalam mengutarakan suatu penilaian dalam menghadapi persoalan. Cikal bakal demokrasi seperti itu tentunya akan menjadi sebuah kebiasaan yang berdampak positif.

Terutama menjadi menjadi bekal bagi seseorang dalam mengarungi berbagai aspek kehidupan.

Demokrasi di Indonesia telah melintasi Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi dengan banyak pelaku dan saksi sejarah.

Perkembangan demokrasi terus terjadi secara dinamis, tanpa mengenal batas waktu. Berbagai persoalan bangsa dapat diatasi melalui proses demokrasi.

Di dunia ini, terdapat macam-macam bentuk demokrasi. Terdapat pernyataan yang akrab terdengar ‘pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat’.

Rangkaian kalimat itu sangat erat kaitannya dengan demokrasi. Bahkan, demokrasi juga menjadi sebuah jembatan yang menyatukan rakyat dengan pemerintah.

Kembali pada asal usul kata ‘demokrasi’. Menurut Para Ahli Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos dan kratos.

Demos berarti rakyat, dan kratos berarti kekuasaan yang mutlak. Sehingga secara harafiah, penggabungan dua kata itu memiliki arti kekuasaan yang mutlak oleh rakyat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi merupakan pemerintahan rakyat atau bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya terlibat memerintah lewat perwakilan.

Dr. Suyatno dalam bukunya berjudul ‘Menjelajahi Demokrasi’ mengungkapkan, para ahli mengemukakan definisi dari kata demokrasi, yaitu:

H. L. Mencken
Demokrasi adalah sebuah teori yang mana rakyat tahu apa yang mereka butuhkan dan pantas dapatkan sangatlah berat.

G. B. Shaw
Demokrasi adalah ‘pemilu pengganti’ oleh pihak yang tidak kompeten di mana banyak kesepakatan yang diselewengkan.

Oxford English Dictionary
Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat; bentuk pemerintahannya terletak pada kedaulatan rakyat secara menyeluruh, dan dijalankan secara langsung oleh rakyat, atau oleh pejabat yang dipilih oleh rakyat.

E. E. Schattschneider
Demokrasi adalah sistem politik yang kompetitif yang di dalamnya terdapat persaingan antara para pemimpin dan organisasi-organisasi dalam menjabarkan alternatif-alternatif kebijakan publik sehingga publik dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Adam Przeworski
Demokrasi adalah bentuk institusionalisasi konflik terus- menerus, ketidakpastian, menundukkan seluruh kepentingan yang tidak jelas.

Demokrasi adalah sistem yang memungkinkan partai politik kalah dalam pemilu, adanya kompetisi yang dikelola oleh-aturan-aturan, dan periode pemenang dan pecundang.

Philippe C. S dan Terry L. K.
Demokrasi politik modern adalah sistem pemerintahan di mana penguasa mempertanggungjawabkan tindakannya kepada warga negara, bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil-wakil rakyat.

Model Demokrasi

Ada beberapa model demokrasi yang tertulis dalam buku Demokrasi Pancasila karya Darmawan Harefa dan Drs. Fatolosa Hulu, di antaranya:

1. Demokrasi Klasik
Demokrasi klasik merupakan demokrasi pertama dengan tingkat pemilihan hanya mencakup laki-laki merdeka. Demokrasi ini tidak mengizinkan perempuan dan orang yang tidak memiliki properti untuk turut memilih.

2. Demokrasi Totalitarian
Model demokrasi ini melibatkan sebuah kediktatoran absolut. Kediktatoran tersebut dikemas sedemikian rupa dengan kata “demokrasi.” Pemikiran para pemimpin mendominasi demokrasi ini dengan memonopoli kebijakan ideologis.

3. Demokrasi Langsung
Kata langsung di sini mendefinisikan demokrasi yang melibatkan partisipasi rakyat secara langsung. Pada demokrasi ini, batas dan perbedaan antara pemerintah dan rakyat dihapuskan. Keduanya menyatu menjadi sistem pemerintahan oleh rakyat.

4. Demokrasi Perwakilan
Merupakan bentuk pemerintahan yang membatasi partisipasi rakyat. Demokrasi ini disebut juga dengan demokrasi tidak langsung. Disebut tidak langsung karena rakyat tidak aktif berpartisipasi secara langsung.

5. Demokrasi Radikal
Demokrasi radikal adalah demokrasi dengan bentuk yang mendukung adanya desentralisasi dan partisipasi. Bahkan pada demokrasi ini tidak terdapat batasan yang pasti.

6. Demokrasi Liberal
Model demokrasi ini bersifat tidak langsung dan perwakilan. Dalam demokrasi liberal, jabatan politik didapat dengan perantara pemilihan. Pemilihan ini dilaksanakan secara berskala sesuai dengan kesetaraan politik formal.

7. Demokrasi Pluralis
Merupakan demokrasi yang merujuk pada kemampuan suatu kelompok dan kepentingan yang terorganisir. Hal tersebut dilakukan untuk mengartikulasikan berbagai tuntutan rakyat serta menjamin pemerintahan yang responsif.

8. Demokrasi Deliberatif
Demokrasi deliberatif merupakan demokrasi dengan model yang menekankan kewajiban terhadap wacana, debat, dan pembahasan mendalam demi membantu mendefinisikan kepentingan rakyat.

9. Demokrasi Parlementer
Model demokrasi parlemen adalah bentuk demokrasi dengan kekuasaan yang terselenggarakan sesuai dengan wakil rakyat atau orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Wakil rakyat menjadi perantara antara rakyat dengan pemerintah.

10. Demokrasi Leninis
Merupakan demokrasi yang terdapat pengorganisiran terhadap partai komunis atas dasar sentralisme demokratis. Dasar tersebut mengartikulasikan kepentingan proletariat.

Dalam berdemokrasi, setiap orang dijamin kebebasannya untuk mengutarakan pendapat atau berbicara dalam sebuah kelompok hingga mimbar tertentu.

Meskipun berbagai retoritas menghiasi dalam kebebasan berpendapat. Termasuk ketika orang menyampaikan sebuah kritik, tak terlepas dari tradisi dalam berdemokrasi.

Dr. Taufik Abdullah dalam sebuah artikel yang ditayangkan Koran Kompas pada Jumat, 8 April 1988, yang diabadikan pada Pusat Dokumentasi HB Jasin, mengungkap perihal keterbukaan para anggota Kabinet Pembangunan V yang mengklaim bersedia menerima kritik.

Menurut dia, kritik yang berkembang saat itu makin memperlihatkan modusnya. Kritik yang diterima hanya seputar memberikan argumen kebaikan.

Seperti mengatakan ‘alangkah baiknya begini’. Kritik tidak mengecam realitas yang dihadapi, seperti bilang ‘ah itu jelek’.

Sejarawan itu menjelaskan, terdapat dua macam kritik. Yakni, consensual criticism dan ideological criticism.

Pertama, kritik yang bertolak dari consensus. Kedua bertolak dari pandangan mengenai apa yang harus dilakukan.

Dalam hal ini, Indonesia berhadapan dengan perencanaan sosialis yang bertolak belakang dengan tanggapan ideologis yang kapitalistik.

Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia, lebih-lebih setelah penetapan asas Pancasila adalah kritik yang bertolak dengan konsensus.

Ada beberapa soal dalam hal ini, antara lain apakah rencana dibuat sesuai dengan yang diperkirakan.

Dengan consensual criticism, tujuan normatif yang akan dicapai telah disetujui, landasannya ialah Pancasila. Jadi, tujuan yang hendak dicapai adalah masyarakat ideal yang dibayangkan Pancasila.

Hal ini untuk mencapai tujuan normatif karena strategis merupakan basis kritik konsensus.

Di sisi lain, Putu Wijaya yang merupakan novelis, cerpenis, dramawan, dan wartawan, dikutip Lampung Pos pada Senin, 6 Januari 1997, berjudul Putu ‘Memerdekakan Mulut Demokrasi’ tampil dalam Teater Tertutup Taman Budaya Lampung.

Dalam kesempatan itu, pria kelahiran Bali, 11 April 1944 itu mengurai perihal kemunafikan seorang pencinta demokrasi yang disogok uang seratus juta rupiah.

Saat itu, Putu sepertinya melontarkan sindiran untuk para aktor politik yang suka berbicara menggebu-gebu tentang hak-hak rakyat.

Namun, ketika sudah menerima ‘bagian’ dari materi dari hasil menindas rakyat, demokrasi tak lebih sebagai alat saja.

Putu menutup ‘demokrasi’ dengan nada sinis seorang kakek. “Kalau demokrasi sudah tidak lagi melindungi kepentingan rakyat, saya akan menentang demokrasi,” tegas pria bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya.

Demokrasi dalam pandangan Pemain Teater Ratna Riantiarno menjadi sesuatu yang cukup menarik untuk dipahami.

Dalam ‘Mimbar Demokrasi’ yang dimunculkan Koran Harian Kompas pada Selasa, 24 Maret 2004, Ratna lebih menyoroti demokrasi dari sudut pandang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).

“Pemilu sudah menjadi sebuah tontonan ingar-bingar berjejal aktor dan aktris. Tidak terlalu penting penonton dibohongi atau tidak. Tidak terlalu penting apa itu pemilu dan tidak terlalu penting lagi pemilu jadi atau ndak”.

“Ini kan negeri antah berantah. Negeri sahibul hikayat. Yang penting kisah kasih dan pedihnya. Polisi, politisi, semua cuma mencatat dan berkilah. Tak ada hal lain yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan,” tutur Ratna.

Menarikkah ini? “Tergantung selera orang. Tergantung tingkat pendidikan orang, tergantung dari mana dia datang dan apa kepentingannya. Ha-ha-ha…. Jadi absurd, ya? Begitulah pemilu,” ujar perempuan kelahiran Manado, 23 April 1952 itu.

“Nikmati saja. Tak perlu bertanya-tanya. Begitulah kita. Begitulah bangsa ini.”

Bagaimana pun berharap ada perubahan yang lebih baik? “Siapa bilang tidak ada perubahan? Tontonan ini jauh lebih menarik dari tontonan lima tahun yang lalu. Sudah lebih terbuka, lebih rasional, lebih realistis. Coba lihat celoteh warga yang terang-terangan bilang, ‘Saya cuma mau uang dan sembakonya’,” tandas Ratna. (DDJP/df)