Sejarah Transportasi di Jakarta (1): Pengemudi Ojek Onthel Tergerus Perubahan Zaman

July 5, 2024 12:03 pm

Siapa yang pernah menggunakan jasa ojek sepeda onthel? Kendaraan ini, belakangan semakin lama semakin jarang terlihat di tengah Kota Jakarta.

Masyarakat perkotaan, seperti Jakarta, belakangan sudah jarang sekali menggunakan sepeda untuk bertransportasi. Apalagi menggunakan jasa pengemudi ojek sepeda onthel.

Bagi sebagian orang, sepeda hanyalah alat untuk berolahraga. Namun bagi sebagian yang lain, yang hidupnya tak seberuntung kebanyakan orang, sepeda adalah harta mereka yang paling berharga.

Sepeda merupakan alat satu-satunya bagi mereka untuk bertahan hidup. Terutama bagi para pengemudi ojek sepeda onthel di seputaran Kota Tua, Jakrta Barat dan Ancol, Jakarta Utara.

Saat mencari informasi mengenai ojek sepeda di Ancol, banyak warga setempat yang tidak mengetahuinya. Sebagian orang mengarahkan untuk mencarinya ke Kota Tua di Jakarta Barat.

Setelah menelusuri pintu masuk Ancol Barat, barulah ditemukan lima sepeda onthel yang terparkir. Sepeda kuno itu berjajar di samping trotoar, menanti sang pengemudi untuk mengendarainya.

Tiga orang pemilik sepeda itu sedang beristirahat di bawah jalan tol. Dua orang sedang mengobrol sambil meneguk kopi dan the. Sedangkan seorang lainnya sedang tertidur pulas di dipan atau bangku dari bambu untuk rebahan di atas trotoar.

“Dulu banyak penumpang. Bahkan, saya sampai kewalahan. Sekarang, paling cuma empat sampai lima kali narik sehari,” kata Suryanto mengawali pembicaraan, Minggu (3/6).

Suryanto mengaku, sudah lebih dari 20 tahun menjadi pengemudi ojek sepeda. Dahulu, rekan-rekannya sesama pengemudi ojek sepeda cukup banyak. Ada sekitar 30 orang yang mencari penghasilan bersamanya.

Namun, kini tinggal lima orang yang masih aktif dan bertahan. Bahkan, manakala menjelang tengah hari, jumlahnya berkurang, bisa hanya enam orang.

“Biasanya, kalau pagi lebih banyak. Kalau siang begini, biasanya sudah pada istirahat,” kata Pak Murtadi, seorang pengemudi ojek sepeda lainnya menimpali.

Dia mengemukakan, beberapa pengemudi ojek sepeda, mempunyai pekerjaan lain pada siang hari. Antara lain, ada yang menjadi penjaga keamanan alias Satpam.

Tapi, Pak Murtadi mengaku tak memiliki keahlian lain. Hanya pasrah dengan keadaan dan berharap banyak penupang yang menggunakan jasanya.

Pak Murtadi mengatakan, setiap penumpang biasanya dikenai tarif sekitar Rp5.000 sampai Rp10 ribu. Tergantung jauh dekatnya jarak yang ditempuh. Semakin jauh jaraknya, ongkosnya bisa semakin besar.

“Tetapi, ada pula yang menawar, sehingga tarifnya lebih murah,” ungkap Pak Murtadi dan diaminkan oleh Pak Suryanto.

Masyarakat yang meggunakan jasa ojek sepeda onthel biasanya bertempat tinggal di sekitar Ancol. Banyak pula turis asing yang menggunakan ojek sepeda keliling Ancol.

“Tentunya, tarif (turis) berbeda. Banyak juga mereka yang akan berangkat kerja minta diantar sampai kantor,” imbuh dia.

Penghasilan Makin Minim

Beberapa tukang ojek sepeda onthel yang ditemui mengatakan, penghasilan mereka semakin menurun sejak ada layanan transportasi Transjakarta, Jaklingko, dan banyaknya jasa transportasi online seperti Grab, Gojek, dan sebagainya.

Jumlah pengguna jasa ojek sepeda onthel pun anjlok drastis, semenjak beroperasinya transportasi berbasis aplikasi marak di ibukota.

“Sejak ada ojek online, Jaklingko, dan bus Tarasjakarta dan sejenisnya, orang jarang yang naik ojek sepeda onthel,” beber mereka.

Sehari-hari, Suryanto, Murtadi dan teman-temannya, sering ditenui tidur di musala dekat Pos Polisi Ancol Barat. Terkadang, tertidur di dipan yang ada di trotoar, tempat dia dan kawan-kawannya biasa menununggu penumpang.

Sedangkan istri dan anak-anaknya Suryanto, tinggal di Daerah Cilacap, Jawa Tengah.

Tiba-tiba, Suryanto menceritakan nasib buruk yang pernah menimpanya beberapa tahun yang lalu. Ia sempat libur menarik ojek selama enam bulan ketika anaknya terkena penyakit leukimia dan dirawat di Rumah Sakit Dr. Sarjito, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kini, ia kembali jadi penarik ojek sepeda onthel untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anak-anaknya di Cilacap.

Baik Pak Suryanto maupun Pak Murtadi tetap menggeluti profesi itu karena tak memiliki keahlian lain. Meski penghasilannya tidak menentu. Mereka juga tidak berharap sesuatu, selain selalu bersyukur karena diberi kesehatan rohani dan jasmai dari Alah SWT.

“Itu harapan kami. Cuma yang kami khawatirkan dan kami takutkan, lama-lama nggak ada lagi penumpang karena kalah dengan ojek online. Insya Allah, masih ada anggota masyarakat yang mau menggunakan jasa kami,” kata mereka dengan nada pasrah. (DDJP/stw/df)