Sejarah Transportasi (2): Kuno, Dilarang tapi Dibutuhkan

July 8, 2024 11:04 am

Becak masih beroperasi di banyak daerah di Indonesia. Termasuk ojek sepeda onthel di sejumlah titik di Jakarta. Tidak mudah mengajak penarik becak dan penarik ojek sepeda onthel beralih profesi, sebab menyangkut pendidikan dan penguasaan teknologi.

Ketika keluar dari Stasiun Jakarta Kota, Jakarta Barat, bisa ditemui tukang ojek sepeda onthel berjejer rapi menunggu penumpang. Dengan bermodalkan tenaga dan sepeda onthel tuanya, mereka sudah siap menawarkan jasa menyambut penumpang. Mereka bersaing dengan para pengojek daring yang ikut mangkal.

“Mari Pak, mau saya antar ke mana?” sapa Samad, 64 tahun, Minggu (30/6/2024).

Samad mengaku sudah mangkal di sekitar stasiun itu sejak tahun 1990. Ia bukan warga Jakarta, tetapi asli Ciomas, Bogor, Jawa Barat yang mengadu nasib di Jakarta.

Menurut pengakuannya, dulu rata-rata pendapatannya sekitar Rp100 ribu sehari dengan tarif sekali jalan rata-rata Rp20 ribu. Tetapi, penghasilan itu berkurang setelah maraknya pengojek daring.

Tukang ojek sepeda di sekitar Stasiun Jakarta Kota yang menurut sejarahnya mulai dioperasionalkan pada tahun 1870 itu kini tinggal tersisa 10 orang. Usia mereka juga sudah menua. Tadinya, tercatat ada 15 orang. Karena alasan sudah tua, satu persatu, mereka pulang ke kampung halamannya, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Selain ojek sepeda, moda transportasi kuno lainnya yang masih beroperasi di Jakarta hingga tahun 1980-an adalah becak. Namun, becak wilayah operasionalnya terbatas. hanya pada lingkungan-lingkungan tertentu, seperti permukiman dan pasar-pasar di beberapa titik di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

Aminuddin (60) misalnya. Tukang becak asal Tegal, Jawa Tengah itu mengaku menjadi tukang becak sejak tahun 1980-an. Namun, ia sempat vakum dan kembali ke kampung halamannya saat keluar peraturan menertibkan becak.

“Saya baru balik lagi ke Jakarta lima tahun berikutnya,” kata Aminuddin sambil mengayuh becak mengantarkan reporter Website DDJP bersama seorang teman jurnalis dari Jawa Barat, menyusuri kawasan Glodok, Jakarta Barat.

Bermodal becak yang dibelinya seharga Rp350.000 pada tahun 1985, Aminuddin mangkal menunggu penumpang di kawasan Glodok mulai pukul 06.00 WIB. Berbeda dengan Samad yang pendapatan per harinya lumayan, ia mengaku hanya bisa mengantongi Rp30.000 per hari.

Saat itu, agak sulit mendapatkan penyewa becak yang jumlahnya mencapai 100-an becak di Glodok. Sehingga mereka hidup pas-pasan dan tak mampu menyewa rumah. Terpaksa mereka tidur di becak atau di pelataran-pelataran toko. Biasanya, pemilik toko memberi izin, itung-itung sebagai pengganti Satpam.

“Saya sempat merasa gembira saat Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan punya wacana untuk mengatur becak boleh beroperasi lagi secara resmi di Jakarta. Menurut saya, itu sangat membantu kehidupan tukang becak. Apalagi ada kabar bagus yang menyebutkan mulai 13 Februari 1998, becak-becak yang beroperasi di Glodok akan ditempeli stiker resmi. Pihak kelurahan juga sudah mendata. Syaratnya gampang. Cukup dengan bukti KTP saja. Tenyata tidak pernah terbukti,” kenang dia.

Pendidikan dan teknologi

Meskipun jumlahnya semakin berkurang, alat transportasi becak masih dipakai di banyak daerah di Indonesia. Memang, semakin hari lokasi operasional becak semakin terdesak di pinggiran dan bukan di kota-kota besar lagi.

Selain itu, banyak daerah juga tidak memiiki peraturan daerah (Perda) yang mengatur operasional becak. Sosiolog dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Musni Umar mengatakan, sejauh ini becak sudah tidak beroperasi di jalan-jalan protokol Jakarta..

“Mereka (penarik becak) ialah korban pembangunan yang sangat mengejar teknologi dan pertumbuhan. Namun, orang-orang kecil itu tidak terakomodasi dalam perkembangan dan kemajuan Kota Jakarta,” papar dia.

Karena itu, lanjut Musni Umar, profesi masyarakat menengah ke bawah itu harus didorong lebih baik lagi. Misalnya, menjadi pengemudi online. Persoalannya, secara umum mereka tidak mengenyam pendidikan. Sehingga sulit mengubah pola pikir mereka. Apalagi, aplikasi itu menggunakan teknologi.

Menurut Rektor Universitas Ibnu Khaldun itu, untuk mengubah nasib masyarakat menengah ke bawah tersebut, salah satunya adalah dengan pendidikan. Masyarakat harus didorong agar semakin lama semakin berpendidikan dan mampu menggunakan teknologi.

Dengan demikian, alat transportasi itu akan tumbuh dan berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh, karena Kopaja dan Metromini dan bajaj sudah sangat tidak memadai beroperasi di Jakarta, maka muncullah JakLingko dan Transjakarta.

Namun demikian, ternyata masih ada masyarakat yang menggunakan becak sebagai alat transportasi. Itu artinya, keberadaan transportasi kuno itu masih ada yang membutuhkan. Karena itu, dia sangat setuju jika tidak ada penambahan becak, sebab kebutuhan moda transportasi masyarakat sudah berubah.

“Perubahan itu disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Namun, kenapa becak masih ada, karena masih ada yang membutuhkannya. Sama halnya dengan oplet atau mikrolet dan bajaj. Karena masih ada orang yang tidak bisa memesan transportasi online. Hal-hal itulah yang harus dijelaskan kepada masyarakat, bahwa menggunakan teknologi lebih memudahkan, memberi kenyamanan dan ketepatan waktu juga lebih baik. Teknologi itu netral dan bisa menguntungkan atau sebaliknya,” tegas dia.(DDJP/stw/df)