Secara administratif pemerintahan, Muara Angke masuk wilayah Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kota Administrasi Jakarta Utara.
Lokasinya berdekatan dengan tempat pelelangan ikan (TPI) Muara Karang. Kini, Muara Angke menjadi Pelabuhan Terpadu. Menurut sejarah, asal nama Muara Angke karena letaknya di hilir dan kuala Kali Angke.
Sejarah asal muasal nama-nama tempat di Jakarta, nama Muara Angke diperoleh dari nama seorang Panglima Perang dari Kerajaan Banten bernama Tubagus Angke.
Muara Angke, selain dikenal sebagai kampung nelayan, juga dikenal masyarakat sebagai pelabuhan dan tempat pelelangan ikan.
Dulu, tak ada orang yang berani tinggal di wilayah ini karena angker. Bahkan masyarakat menyebutnya sebagai tempat ‘jin membuang anak’.
Lebatnya hutan bakau, besarnya gelombang air laut, hanya orang-orang bermental baja yang berani memasuki areal ini.
Para nelayan dari Makassar dan Banten yang terkenal pemberani, konon yang pertama kali berani menembus areal ini. Karena, wilayah ini juga, dulu dikenal sebagai tempat persembunyian para perompak dan bajak laut.
Di awal abad ke-16, Kerajaan Banten mengirim pasukannya guna membantu pasukan Kerajaan Demak yang sedang menggempur benteng pertahanan Portugis di Sunda Kalapa.
Pengiriman pasukan perang itu menggunakan perahu dengan menyusuri sungai dan bermarkas di pinggir sungai. Sehingga sungai itu disebut Kali Angke, Karena muara sungai itu menuju Laut Jawa, akhirnya dikenal dengan nama Muara Angke.
Budayawan Betawi dan Pengamat Perkotaan Alwi Shahab menyebutkan, kata “Angke“ berasal dari bahasa Hokkian, ‘Ang’ yang artinya merah dan ‘Ke’ artinya sungai atau kali.
Hal ini erat kaitannya dengan peristiwa tahun 1740 saat Belanda membantai sekitar 10.000 orang Tionghoa di Glodok dan membuang mayatnya ke sungai itu, membuat air Kali Angke yang semula jernih berubah berwarna merah karena bercampur darah.
Budayawan Betawi lainnya, Ridwan Saidi mengemukakan, dalam bahasa Sanskerta ‘Anke’, artinya kali (sungai) yang dalam. (DDJP/stw)