Komunitas jurnalis yang biasa meliput di lingkungan kantor pemerintahan punya staf khusus yang selalu siap memberikan jasa operasional.
Meski seorang diri, staf khusus yang akrab disapa Jajang itu tak kenal Lelah meski harus mondar-mandir mencari sesuatu yang dibutuhkan para jurnalis.
Sayangnya, komunikasi antara para jurnalis dengan Jajang jarang sekali berjalan lancar.
Kondisi tersebut tak jarang menimbulkan kesalahpahaman di antara kedua pihak.
“Pj (singkatan dari Pak Jajang), tolong belikan makan,” ujar satu di antara jurnalis yang sedang berkumpul.
“Oke,” jawab Jajang.
Tak lama berselang, pesanan datang.
“Ini. Harganya 15 ribu, kembaliannya 5 ribu,” ungkap Jajang sambal memberikan uang kembalian seraya berberbalik badan.
“Sip, terima kasih,” tutur si jurnalis sambil menerima satu bungkus berisi makanan.
Lalu, Jajang membalikkan badan ke hadapan si jurnalis dan berkata,”Kan, sudah saya kasih makanannya”.
Dengan wajah agak kesal, Jajang pun berpaling lagi dari si jurnalis.
“Iya tau, saya bilang terima kasih,” kata si jurnalis mengulangi perkataannya tadi.
Tak senang hati, Jajang menghampiri si jurnalis sambil bergumam.
“Makanan sudah saya kasih kok masih minta dikasih?” tanya Jajang.
Lelah dengan ulah Jajang, si Jurnalis menarik daun telinga Jajang sambil berkata,”Terima Kasih”.
“Jangan keras-keras dong ngomongnya! Emang saya budeg?” keluh Jajang.
“Kan sejak tadi bilang terima kasih, malah bilang udah dikasih. Wajar kalau saya mengira Pj (Pak Jajang) budeg!” tutur si jurnalis dengan nada kesal.
“Ooh, tadi saya dengar di telinga sebelah kanan. Makanya, lain kali kalo mau ngomong sama saya, di telinga sebelah kiri saja,” tandas Jajang dengan nada keras.
Jurnalis itu pun enggan meladeni perkataan Jajang sambil mengunyah makanan yang sedikit lagi habis. (df)