Sawah

October 18, 2024 10:03 am

Sawah punya kekuatan pemikat. Dari mulai peguasa, birokrat, pedagang, pelancong, bahkan juga penyair. Demikian diungkapkan Danarto.

Menurut Danarto, keterpikatan peguasa atau birokrat pada sawah, rupanya bukan pada indahnya tanaman atau petani yang matang.

“Tetapi tentang angka-angka di sekitarnya yang berkelindan,” Chaerul menimpali.

“Sawah sebagai muruah mereka (petani) adalah tempat berdoa dan berikhtiar. Juga tempat tubuh istirahat dari memar karena kelakuan dan kebijakan birokrat yang sering sukar diterima nalar,” kata Danarto.

“Maksudnya?” tanya Chaerul.

Di pihak lain, sambung Danarto, pemerintah dengan gencarnya mendorong pertumbuhan desa wisata.

Para aparat desa berpikir keras membuat beragam festival. Menghidupkan kesenian lokal dan mempersiapkan diri untuk ditonton pelancong.

Desa-desa dengan sawah-sawah luas, para petani yang bekerja dengan tulus, kesenian yang memiliki dimensi spiritualitas akan menjadi pertunjukan andal dari sebuah teater yang bertujuan keuntungan finasial.

“Nasib sawah-sawah di Bali bisa dijadikan misal atau contoh,” kata Danarto.

Chaerul menanggapi. “Tapi karena seringnya petani menjadi kaum teraniaya, proyek besar pendidikan untuk mencerdaskan bangsa tak membuat anak-anak petani punya cita-cita menjadi petani seperti leluhurnya,” tutur dia.

“Sebaliknya, para siswa dan mahasiswa tak banyak terpikat dengan kemolekan sawah,” tambah Chaerul.

“Ya. Dulu, sawah menanti padinya untuk dituai. Kini, jadi makanan pokok yang butuh usaha untuk digapai. Itulah bedanya sawah dulu dan sawah sekarang,” kata Danarto sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Karena tiba-tiba terlintas bayangan antrean panjang orang-orang untuk mengambil bantuan sosial beras dari pemerintah menjeang Pilkada 2024. (stw)