Kampung adalah ekosistem asli Jakarta. Karena itu, tak bisa terpisahkan dari Jakarta. Bahkan eksis di pusat kawasan bisnis, walau berdampingan dengan hotel mewah bintang lima dan gedung pencakar langit yang menjadi ‘landmark’ Jakarta.
Kampung adalah identitas dan jati diri lokal yang menjadi lambang harmoni sosial Jakarta.
“Kampung adalah wajah ramah metropoltan yang inklusif dengan ruang publik yang berlimpah. Kampung adalah rumah, tempat setiap warga hidup aman dalam masyarakat yang penuh persaudaraan, sekaligus tempa usaha yang memberi kesejahteraan secara merata,” ujar Chairuddin, putra Betawi dari Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (7/8).
Mantan Kepala Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (Bazis) Kota Administrasi Jaakarta yang pernah terpilih sebagai Kepala Bazis terbaik tingkat Provinsi DKI Jakarta itu menambahkan, dalam lima dekade berikutnya, lahan kampung di Jakarta menurun secara drastis.
Hal itu terkaji karena spekulasi dan meroketnya harga tanah dan penggusuran. “Penggusuran paksa terhadap kampung-kampung menjadi fenomena umum dalam penataan kota. Sehingga, keberadaan kampung ditiadakan dalam perencanaan kota. Bahkan dimusuhi dan dimarjinalkan,” ujar mantan Lurah Pondok Bambu dan Jatinegara Kaum itu.
Arus utama pembangunan Jakarta secara jelas sangat materialistis dan fungsional, teknikal dan apolitis. Kota hanya menjadi ruang-ruang kapital dengan kepentingan ekonomi menjadi panglima. Tata ruang kota pun bergeser hanya untuk melayani pemilik modal.
Ungkapan senada diutarakan Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi Golkar Khotibi Achyar. Politisi berdarah Betawi dari Cengkareng yang akrab dipanggil Haji Beceng, singkatan dari Betawi-Cengkareng, Jakarta Barat itu juga menyebutkan, konversi ruang terbuka hijau (RTH) untuk hunian mewah dan kawasan komersial dilegalkan melalui perubahan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) kota.
Anggota DPRD DKI Jakarta Khotibi Achyar alias Haji Beceng. (dok.DDJP)
“RTH Jakarta yang semula 37,2 persen pada RTRW 1965-1985 menjadi 9,98 persen pada RTRW 2010-2030. Kecenderungan ini berjalan masif seiring pertumbuhan penduduk super-kaya Jakarta yang berlipat lima kali dalam beberapa dekade belakngan ini. Jumlahnya, yang pada 2015 sekitar 26.600 orang, kini mencapai lebih dari 35.000 orang yang kekayaannya mencapai lebih dari 1 ( satu) juta dollar AS,” papar Beceng.
Ajang Delokalisasi
Anggota Komisi A DPRD Provinsi DKI Jakarta yang membidangi pemerintahan, kependudukan, dan hukum itu lebih lanjut mengemukakan, pembangunan pun akhirnya menjadi ajang delokalisasi dan mencerabut kota dari akar sejarahnya.
“Kota sepenuhnya menjadi engine of growth. Pembangunan kota semata fungsi dari profit dan konsumsi material. Ruang fisik Jakarta tumbuh pesat, dan nyaris tanpa kendali, diserai kekuatan pasar. Jakarta akhirnya disesaki properti dengan harga yang terus melambung dan menjadikannya sebagai salah satu kota dengan harga properti tertinggi di dunia,” urai politisi kelahiran Cengkareng Timur itu.
Dikemukakan pula, kota dibangun sekadar memenuhi hasrat binal investor. Sehingga, komodifikasi setiap sudut ruang kota menciptakan fragmentasi dan segregasi, daerah kaya dan miskin.
Orientasi kota terfokus pada dimensi privat dari kemajuan material di bawah kendali corporate managemnt. Sehingga, jargon pembangunan kota, keindahan, ketertiban, dan kenyamanan dilakukan di bawah hegemoni pasar dan sepenuhnya mempresentasikan imajinasi kelompok kaya.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Yuke Yurike secara terpisah mengatakan, dalam visi exclusive corporate city ini, kampung adalah noda untuk status global dan daya saing ekonomi kota.
Terlebih, permukiman liar sarat masalah tidak dapat dimungkiri. Terutama, persoalan agraria dan kawasan kumuh. Diperkirakan hanya kurang dari setengah bidang tanah di kawasan kumuh Jakarta yang memiliki sertifikat hak milik.
Anggota DPRD DKI Jakarta Yuke Yurike. (dok.DDJP)
“Sekitar sepuluh persen dari 2.722 RW di Jakarta berstatus sebagai RW kumuh,” papar Yuke.
Wakil rakyat yang membidngi pembangunan dan lingkungan hidup ini lebih lanjut mengemukakan, daerah komersial modern juga sarat pelanggaran aturan.
Kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara misalnya. Seluas 3.182 hektare yang kini disesaki hunian mewah, apartemen, mal dan kawasan Sunter seluas 3.605 hektare yang kini menjadi hunian mewah dan pabrik otomotif.
Padahal kawasan-kawasan tersebut merupakan daerah resapan air pada RTRW 1985-2005. Begitu pula kawasan Pantai Kapuk, Jakarta Utara, seluas 2.053 hektare yang kini dipenuhi hunian mewah, lapangan golf dan mal, adalah daerah hutan lindung pada RTRW 1985- 2005.
Berperan Signifikan
Kampung, selama ini berperan signifikan dalam ekosistem Jakarta. Kampung di Jakarta adalah saluran terpenting migrasi desa-kota yang murah, fleksibel, dan massal, sehingga berperan besar sebagai katub pengaman perekonomian yang efektif dari krisis.
Kampung juga berperan sebagai pendaur ulang material sisa masyarakat kota. Terutama terkait kemampuannnya menyerap tenaga kerja tidak terdidik berupah rendah dan tidak memiliki titik jenuh.
“Kemampuan mereka ini membuat kampung mampu mensubsidi sektor modern kota dengan menyediakan barang dan jasa murah bagi pekerja sektor formal, sekaligus menjadi rantai distribusi produk industri yang murah dan efektif,” ungkap Yuke.
“Sekitar 40 persen perekonomian Jakarta diperkirakan merupakan sektor informal yang lekat dengan kampung,” tambah dia.
Menata kota dengan menggusur, sambung Yuke, tidak menyelesaikan masalah kemiskinan. Justru mereproduksinya dengan derajat yang lebih dalam.
Dengan kontribusi perumahan sekitar 18 -20 persen pada garis kemiskinan Jakarta, setara dengan kontribusi beras, penggusuran terhadap kampung dan permukiman liar akan selalu menciptakan orang miskin baru.
Kenaikan harga BBM tampaknya juga tidak berkorelasi dengan kinerja kemiskinan di Jakarta. Kemiskinan, lebih dipengaruhi kebijakan kota.
City without slum diraih dengan menggusur kampung dan permukiman liar. Kemiskinan dihapus dengan mengusir orang miskin. Kesenjangan pun semakin tak terkendali.
Penghormatan terhadap hak warga miskin kota, terutama hak atas tempat tinggal dan hak atas pekerjaan yang layak, harus menjadi agenda prioritas dalam penataan kampung dan permukiman liar ke depan.
Kemiskinan dan keterbelakangan yang melekat pada kampung, lebih banyak diciptakan oleh diskriminasi dan marjinalisasi yang diterimanya (social exelosion).
Kampung yang dipandang tidak kompatibel dengan status global city yang disandang Jakarta, terus tergerus dan terpinggirkan. (DDJP/stw/df)