Sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah melalui perjalanan panjang yang penuh dinamika. Perayaan 80 tahun kemerdekaan tahun 2025, bukan sekadar menandai usia negara.
Tetapi juga menjadi momentum refleksi terhadap pencapaian serta tantangan yang dihadapi. Upaya untuk ‘membangun jiwa merdeka’ menjadi salah satu fokus utama dalam perjalanan ini.
Di mana, setiap individu diharapkan memiliki kemandirian berpikir, kebebasan berekspresi, dan tanggung jawab sosial yang tinggi.
Anggota Komisi A Lauw Siegfrieda mengemukakan, bersamaan pada kemerdekaan sejati, tidak hanya terkait dengan kesejahteraan ekonomi dan sosial.
“Pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan adalah prasyarat penting untuk mencapai potensinya,” Lauw Siegfrieda, beberapa waktu lalu.
Dalam hal itu, sambung dia, program-program pemerintah yang berfokus pada pengentasan kemisikinan, peningkatan kesehaan, dan pemeretaaan ekonomi menjadi langkah-langkah krusial.
Dengan mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi, kata politisi PDI Perjuangan itu, masyarakat dapat terbebas dari belenggu kemisinan dan ketidaksetaraan. Pada gilirannya memperkuat jiwa-jiwa merdeka.
“Ketahanan ekonomi memberikan stabilitas dan rasa aman yang diperlukan bagi individu untuk mengembangkan diri, serta berkontribusi secara maksimal dalam kehidupan bermasyarakat,” tutur dia.
Selain aspek ekonomi dan sosial, menurut dia, budaya juga memegang peran penting dalam membentuk jiwa yang merdeka.
Indonesia dengan kekayaan budaya yang luar biasa dan keragamannya memiliki modal kuat untuk memperkuat identitas nasional.
“Pelestarian dan pengembangan budaya lokal bukan hanya memperkuat rasa kebangsaan, tetapi juga memberikan landasan moral dan etika bagi masyarakat,” tandas Lauw.
Budaya yang kuat berakar pada nilai-nilai lokal, lanjut dia, menjadi sumbver inspirasi dan kekuatan dalam menghadapi tantangan global yang semakin konmpleks. (stw/df)