Komisi D Provinsi DKI Jakarta mendorong SKPD mitra kerja terus mematangkan analisa studi kelayakan pemanfaatan Ruang Bawah Tanah (RBT) di Provinsi DKI Jakarta.
Anggota Komisi D DPRD DKI Tandanan Daulay mengatakan bahwa kajian pemanfaatan RBT yang termaktub dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 167 tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah belum detail mengatur menfaatan ruang lain. Menurutnya, hal tersebut perlu mendapat penyesuaian butir-butir pasal terlebih dahulu perihal pemanfaatan RBT.
“Menurut saya, kajian RBT ini harus berfikir bagaimana perencanaan dan pengelolaan harus melihat 30 tahun kedepan. Jadi harus diubah dulu aturan di Pergub, terutama pemanfaatan ruangnya. Karena bahasan ruang itu ada diatas, di pantai dan laut dan juga ada di dalam tanah,” ujarnya, Jumat (26/7).
Daulay mengusulkan klasifikasi dalam aturan tersebut dapat dipisah dan dibuat secara khusus. Ia mengatakan aturan tersebut perlu memuat tugas pokok dan fungsi yang diemban masing-masing SKPD lintas bidang. Seperti Dinas Bina Marga untuk persiapan rencana pembangunan underpass menuju tunnel RBT, perencanaan saluran air dan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) oleh Dinas Sumber Daya Air.
Kemudian, kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penanganan Limbah B3 oleh Dinas Lingkungan Hidup, serta perencanaan ruang tata kota oleh Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan (CKTRP).
“Makanya kita perlu data-data terbaru dari SKPD yang tergabung dalam pemanfaatan Ruang Bawah Tanah ini. Seperti apa luas dan kedalaman yang bagusnya berapa, bagaimana jaringan-jaringan pipa, instalasi listrik serta air termasuk AMDAL dan kelola Limbah B3-nya. Ini harus dimotori bersama SKPD yang terlibat dalam RBT dan bisa sejalan untuk kebutuhan-kebutuhan itu,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perencanaan Pengembangan dan Pemantauan Pembangunan Bappeda Provinsi DKI Jakarta Feirully Irzal mengatakan pihaknya telah menyiapkan naskah akademik perihal usulan penambahan butir-butir pasal yang mengatur penempatan kawasan RBT diatas lahan properti milik pribadi (privat) ataupun berkepemilikan perusahaan.
Ia mengakui bahwa aturan pemanfaatan Ruang Bawah Tanah yang temaktub dalam Pergub Nomor 167 Tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah belum terakomodasi oleh kriteria yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
“Jadi undang-undang (Nomor 26 Tahun 2007) itu tidak mengatur sejauh mana tanah-tanah yang diatas lahan secara properti adalah milik orang diatasnya. Inti aturan itu berbunyi pemanfaatan ruang bawah tanah dilakukan sepanjang atau sedalam dengan lahan-lahan diatasnya. Nah itulah yang menjadi perhatian kami saat ini bagaimana cara mensinkronkan hal tersebut dengan peraturan yang sudah diterbitkan dalam Pergub ini,” terangnya.
Feirully menyatakan beberapa aturan tersebut akan diinventarisasi untuk usulan penambahan aturan lain. Seperti, kriteria kelayakan kontur tanah bagi pengembang properti dalam tata ruang bawah bumi berjenis dangkal beserta jenis kegiatan yang diperbolehkan dalam Ruang Bawah Tanah.
“Jadi yang akan kita prioritaskan adalah kegiatan-kegiatan strategis dengan memperhatikan aspek keselamatan. Kalau terjadi bencana dan kondisi darurat, masyarakat segera bisa keluar dari lokasi ruang bawah tanah,” ucapnya.
Dengan demikian, Feirully menyatakan pihaknya akan memaparkan usulan tersebut dalam draf naskah akademik Revisi Peraturan Gubernur Nomor 167 Tahun 2012 Tentang Ruang Bawah Tanah yang akan digelar pada September 2019.
“Sudah kita masukkan pengaturan jenis-jenis kegiatan yang diperbolehkan dalam ruang bumi datar atau ruang bumi dalam Revisi Pergub-nya. Rencana akan dilakukan di bulan September 2019 itu sudah ada draf revisi pergubnya dan disahkan di bulan itu,” tandas Feirully. (DDJP/alw/oki)