Puasa memberikan manfaat yang luar biasa dari aspek kehidupan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, puasa juga dilakukan oleh banyak penganut agama atau bangsa lain.
Bahkan, tradisi puasa telah dilakukan sejak era peradaban kuno. Dalam surah Al-Baqarah Ayat 183 disebutkan, ‘Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa’.
Dalam surah di atas juga disebutkan, ‘Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” Tentu, dari fakta tersebut muncul pikiran bahwa mengapa puasa diperintahkan dan dilakukan tak hanya bagi umat Islam, namun juga bagi non-Muslim?
Cendekiawan Muslim, Azyumardai Azra dalam bukunya ‘Malam Seribu Bulan’; Renungan–Renungan 30 Hari Ramadan mengatakan, kewajiban puasa telah diperintahkan kepada ‘orang-orang sebelum kamu’ yang dimaksud adalah para pemeluk agama-agama Samawi.
Agama-agama dimaksud yang secara historis memiliki keterkaitan langsung dengan Islam. Yakni, Yahudi dan Nasrani. Dalam bahasa Alquran, kedua umat beragamaa itu disebut ahlul kitab.
Ketiga agama yang tergabung dalam agama Nabi Ibrahim (Abrahamic Religions) tersebut, lanjut Azyumardi Azra, sama-sama mengerjakan keesaan Allah, kenabian, hari akhir, shalat, zakat, termasuk juga puasa.
Ajaran tentang ibadah puasa, menurut dalam pandangan banyak agama Samawi, tersebar dalam berbagai bagian kitab-kitab suci mereka dengan keterangan panjang dan pendek, serta mencakup berbagai bentuk puasa.
Teks ayat ‘orang-orang sebeluam kamu’ mengandung dimensi masa lampau yang memiliki dimensi keberlanjutan suatu perintah agama dengan masa sesudahnya.
Perintah berpuasa bagi umat Islam merupakan perintah Allah yang berkesinambungan dan berkelanjutan dari suatu umat ke umat beragama sebelumnya.
“Hal ini membuktikan dan menegaskan, kehadiran ajaran Islam bagi kaum Muslimin, salah satu ajarannya adalah ibadah puasa, merupakan kelanjutan dan penyempurnaan bagi agama-agama Samawi sebelumnya,” tutur dia.
Ada puasa Nabi Daud, sehari puasa, sehari berbuka. Ada puasa menahan diri dari berbicara, seperti pernah dijalankan Maryam, ibu Nabi Isa, jauh sebelum Nabi Isa.
Perlu disimak pula kisah Nabi Adam, sebagai simbol manusia pertama, dan Hawa, istrinya. Adam dan Hawa telah dikaruniai kenikmatan berlimpah dan diberi kemudahan untuk memakan segala buah di alam surga, kecuali ‘buah terlarang’.
Kisah Nabi Adam dan Hawa, Maryam dan ‘orang-orang terdahulu’ sebelum umat Nabi Muhammad menjelaskan, sejak awal sejarahnya, umat manusia sebenarnya telah diperintahkan untuk menahan dan mengendalikan diri sendiri dari berbagai bentuk kezaliman.
“Karena itu, contoh sejarah pengendalian diri manusia-manusia terdahulu melalui puasa dapat diharapkan menjadi rujukan manusia –manusia kini dan mendatang dalam mengendalikan diri”.
“Sejarah dan upaya manusia dalam hal pengendalian diri akan berlangsung dan berkesinambungan dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat lainnya”.
“Pengalaman sejarah pengendalian diri itu sangat dibutuhkan agar kezaliman yang dapat merusak tatanan masyarakat tidak kembali terulang bagi umat manusia. Apapun latar belakang agamanya,” kata Azyumardi Azra.
Mengharap Ridha Allah
Secara bahasa, puasa dalam bahasa Arab disebut “saha-wama” yang bermakna “menahan”, “berhenti” atau “tidak bergerak”. Secara esensial mengandung arti “menahan dan mengendalikan diri”.
Dalam Tafsir Al-Manar disebutkan pula, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan suami istri mulai dari terbit fajar hingga Maghrib karena mengharap ridha Allah sebagai persiapan diri menuju ketakwaan kepada-Nya. Jalannya dengan memerhatikan dan mengendalikan kehendak pribadinya.
Momentum menahan diri inilah esensi utama dari puasa. Banyak pula keutamaan yang didapatkan jika Muslimin mampu melakukannya. Salah satunya yakni jaminan surga.
Rasulullah SAW bersabda: “Di surga ada delapan pintu. Salah satu pintu itu bernama Rayyan yang hanya dilewati oleh orang-orang yang berpuasa. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
Tak hanya keutamaan yang diraih. Puasa pun memberikan manfaat yang luar biasa dari segala aspek kehidupan. Yasin Jibouri dan Mirza Javad Agha Maliki Tabriz dalam Rahasia Puasa Ramadhan mengatakan, dalam Islam manfaat-manfaat spiritual, sosial, ekonomi, politis, dan psikologis dari ibadah puasa saling berkaitan. Yang satu memengaruhi yang lain.
Puasa menghasilkan kemenangan yang jelas atas keinginan-keinginan haram dan desakan egoisme seseorang. Puasa juga mengatur dan menyistemasi energi instingtif, melatih tubuh untuk tunduk pada dorongan-dorongan spiritual tinggi, meningkatkan semangat bersedekah dan berkasih sayang, mengingatkan setiap orang beriman akan kebutuhan-kebutuhan orang beriman lainnya, serta membangun sifat muslimin saling berbagi nikmat-nikmat Allah.
Senada, Yusuf Burhanuddin dalam ‘Misteri Bulan Ramadhan’ menuturkan, puasa di dalam Islam memiliki sasaran dua dimensi. Yakni membina hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan menjalin hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minal-nas).
Sekilas, berpuasa seolah menyiksa diri. Orang Islam yang meninggalkan puasa, selain dianggap berat, juga merasa terbebani, karena tidak mengenal keutamaan puasa itu sendiri.
Secara umum, hikmah dan keutamaan puasa bulan Ramadhan meliputi upaya seorang Mukmin untuk mendekatkan diri pada pengawasan Allah (muraqabatullah), mengajarkan pengorbanan luhur, melembutkan hati dan emosi.
Juga menumbuhkan empati sosial, mengokohkan kekuatan akal daripada nafsu, mengakui kelemahan diri yang tidak bisa hidup tanpa makan dan minum.
Sehingga seseorang tidak bersikap angkuh terhadap orang lain. Puasa bisa menjernihkan hati dan pikiran serta menjaga kesehatan dan stamina tubuh. (DDJP/red)