Fenomena ‘Rojali’ (rombongan jarang beli) di pusat perbelanjaan atau mal menjadi perhatian kalangan legislator di Kebon Sirih.
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Jupiter berpendapat, fenomena Rojali bukan sekadar kebiasaan jalan-jalan tanpa belanja. Namun bisa menjadi sinyal penting dari kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah.
“Kenapa? Karena ternyata banyak mal yang terlihat ramai, tetapi tenant mengeluhkan sepinya transaksi,” ujar Jupiter, beberapa waktu lalu.
Bisa jadi, sambung dia, karena faktor tekanan ekonomi. Termasuk, harga kebutuhan pokok naik.
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Jupiter. (dok.DDJP)
“Cicilan menumpuk, dan beban hidup makin berat. Yang perlu ditekankan, bukan berarti masyarakat tak ingin belanja, tapi mereka (masyarakat) sedang dalam mode bertahan,” ungkap Jupiter.
Ia menekankan, pentingnya inovasi pengalaman belanja yang lebih emosional dan terjangkau serta perlunya insentif langsung dari pemerintah kepada masyarakat.
“Kalau fenomena terus dibiarkan, sektor ritel dan UMKM bisa terganggu. Kita perlu kolaborasi. Pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat saling menopang pemulihan ekonomi ini,” imbuh Jupiter.
Dalam suatu perbincangan, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengatakan, fenomena Rojali sebagai refleksi tekanan terhadap konsumsi rumah tangga.
“Orang hanya akan belanja jika ada diskon. Tapi sayang, yang sering dipromosikan bukanlah barang-barang kebutuhan utama,” kata Esther.
Menurut Esther, konsumsi masyarakat masih tertekan oleh harga barang yang tinggi. Terlebih adanya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan minimnya diskon untuk kebutuhan pokok.
Karena itu, saran Esther, kebijakan fiskal dan moneter harus lebih terarah untuk memperkuat daya beli masyarakat. Sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi jangka menengah yang inklusif dan berkelanjutan. (stw/df)