Suatu hari di tahun 1894, sebuah kapal pemerintah Hindia Belanda melempar jangkar di perairan salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Dari atas kapal, seorang lelaki tua dan dua anak muda turun di bawah todongan senjata pengawal.
Ketiganya naik ke atas sekoci. Kedua pengawal mendayung, mengarahkan sekoci ke bibir pantai. Setelah menurunkan lelaki tua dan dua anak muda di pulau tak berama itu, pengawal kembali ke sekoci dan mendayung ke arah kapal yang menunggu mereka di tengah laut.
Juni 2011, sebuah tim dari Kabupaten Malimau, Kalimantan Timur, tiba di Pulau Tidung untuk mencari makam seorang raja. Mereka meneliti semua kuburan terlantar di Pulau Tidung, dan mengambil sampel DNA,dan mengujinya.
Beberapa hari kemudian. Lembaga Adat Besar Tidung Kalimantan Timur mengumumkan bahwa makam Raja Pandita ditemukan setelah empat tahun pencarian ke seluruh penjuru Indonesia. Bersamaan dengan pemuan itu, sejarah Pulau Tidung pun akhirnya terungkap.
Syahdan, Aji Muhammad Sapu, alias Kaca, dinobatkan sebagai Raja Tanah Tidung tahun 1853 dengan gelar Panembahan Raja Pandita. Belanda memaksa Raja Pandita melepas kekuasannya, dan menyerahkan Tanah Tidung ke Kesultanan Bulungan, dan mengakui Hidia Belanda sebagai yang dipertuan. Raja Pandita menolak. Rakyat Tidung bersiap melakukan perlawanan. Tapi Raja Paandita mencegahnya, karena tidak ingin adanya jatuh korban.
Belanda menangkap Raja Pandita, dua cucunya, Sayid Abdurrahman dan Sayid Abubakar,dan membawanya ke Batavia. Setelah dua tahun di ibu kota Hibdia-Belanda, pemerintah kolonial membuang ketiganya ke pulau tak dikenal di Kepulauan Seribu.
Sebagai simbol perlawanan terakhir, Raja Pandita memberi nama tempat pembuangabnnya itu sebagai Pulau Tidung.
Ia mempopulerkan Pulau Tidung dari mulut ke mulut keapa setiap nelayan yang singgah atau pendatang baru sampai akhirnya peduduk di Kepulauan Seribu akrab dengan nama Pulau Tidung.
Raja Pandita meninggal tahun 1894 pada usia 81 tahun. Dua cucunya, Sayid Abdurrahman dan Sayid Abubakar terus tinggal di pulau itu sambil merawat makam sangraja.
Keduanya menikah dengan wanita dari pulau lain dan beranak pinak.
Jembatan Cinta
Lembaga Adat Besar Tidung menggali makam sang raja. tapi tidak membawanya pulang ke Malimau, Kalimantan Timur.
Tulang belulang sang raja dipindahkan ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kampung Tidung. Tujuannya agar tidak menghilangkan sejarah Pulau Tidung dan perlawanan Sang Raja.
Pulau Tidung bukan satu, tapi dua. Tidung Besar yang dihuni 5.000 jiwa lebih dan Tidung Kecil yang difungsikan untuk menangkar mangrove.
Tahun 2005, Bupati Kepulaua Seribu Djoko Ramadhan mengawali pembangunan pariwata di Pulau Tidung.
Ia megubah jembatan kecil yang menghubungkan Tidung Besar dan Tidung Kecil menjadi jembatan permanen dan menyebutnya dengan nama Jembatan Cinta.
Bentuk jembatan itu cukup unik dan seluruhnya terbuat dari kayu. Speedboat kecil bisa lewat di kolong jembatan setinggi lima meter dari permukaan laut.
Masyarakat memoles jembatan dengan mitos tentang cinta. Polesan mitos itulah membuat jembatan yang menghubungkan dua Pulau Tidung itu populer dengan sebutan Jembatan Cinta.
Setiap pekan, ratusan remaja yang kasmaran melewati Jembaan Cinta dan berikrar untuk setia sehidup semati.
Masyarakat terus menghembuskan mitos tentang Jembatan Cinta untuk menambah daya tarik jembatan.
Pulau Tidung tidak sekadar Jembatan Cinta. Pulau berpebduduk 5.000 jiwa lebih ini juga memiliki Pantai Saung Perawan yang berpasir putih dan pepohonan rindang.
Di lokasi juga terdapat warung-warung milik penduduk yang menjajakan makanan dan minuman dengan harga yang tak mencekik kantong.
Pengunjung bisa bersepeda menikmati hutan bakau dan mendengar cerita bagaimana penanaman kembali mangrove untuk menghentikan abrasi yang nyaris menenggelamkan pulau.
Selain itu, ada banyak fasilitas wisata buatan yang memanjakan pengunjung. Mulai dari banana boat, penyewaan perahu untuk memancing, dan lain sebagainya.
Sebagai pulau berpenghuni, pembangunan wisata di Pulau Tidung sepenuhnya melibatkan penduduk. Di sini, hampir setiap penduduk memiliki homestay dan ditawarkan dengan harga terjangkau. Kapasitasnya cukup memadai.
Penduduk juga menyediakan makan bagi setiap pengunjung dengan harga relatif standar sama dengan di daratan Jakarta.
Pulau Tidung mengawal perkembangan industri pariwisata berbasis masyarakat. Mulai 2009, masyarakat Pulau Pari, Semak Daun, dan Pulau Payung berkembang.
Tahun-tahun berikutnya, masyarakat di Pulau Kelapa, Pulau Harapan, dan Pulau Pramuka mengikuti jejak penduduk Pulau Tidung.
Menteri Pariwisata Arief Yahya waktu itu sangat mengapresiasi peran Pulau Tidung mengawali pembangunan pariwisata Kepulauan Seribu sebagai destinasi utama Jakarta memiliki modal dasar untuk menjadikan Kepulauan Seribu sebagai tujuan wisata bahari.
Pulau Tidung tampaknya tidak sekadar mewariskan clan perlawanan seorang raja, tapi juga semangat pembangunan yang menjadi pionir industri pariwisata Kepulauan Seriu hingga saat ini. (DDJP/stw/df)