Pencemaran udara Ibukota kini menduduki peringkat empat dan termasuk dalam 10 resiko lingkungan paling signifikan di Indonesia berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta.
Data itu menyebutkan, sumber utama polusi udara yang terjadi dipicu asap kendaraan bermotor, debu, pembakaran sampah, dan biomassa. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, saat ini tingkat polusi udara DKI Jakarta memasuki kategori sedang, dengan rincian Jakarta Timur 81, Jakarta Pusat 59, Jakarta Utara 72, Jakarta Selatan 59, dan Jakarta Barat 56. Seluruhnya dihitung dengan parameter mutu udara masih menggunakan (particulate matter) PM 10.
Ketua Komisi D DPRD DKI Iman Satria mengatakan sudah saatnya pencemaran udara dapat ditangani secara serius oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan menghadirkan penambahan alat ukur tingkat pencemaran udara di setiap wilayah administratif DKI Jakarta.
“Kita menginginkan untuk alat ukurnya dulu nih, karena alat ukurnya sangat minim supaya ada di setiap wilayah, minimal di setiap wilayah ada dua-dua lah, sehingga berapa tingkat pencemarannya sendiri masyarakat sudah tahu,” ujarnya di gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (7/11).
Selain penambahan alat ukur pencemaan udara, Iman juga mendorong agar Pemprov DKI menggencarkan lagi penambahan lahan untuk penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai hutan kota sebagai kawasan penghasil oksigen. Sejauh ini, dikatakannya, penambahan RTH di Ibukota tergolong lambat dari target 30 persen dari total keseluruhan luas wilayah Jakarta.
“Pembebasan lahan juga diperlukan dalam meningkatkan keterpaduan polusi udara supaya lebih bagus tingkat oksigen yang ada di tingkat masyarakat,” ungkap Iman.
Sementara itu, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Oswar Muadzin Mungkasa mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah meluncurkan lima desain besar rancangan untuk menghadapi tiga isu yang dihadapi kota negara di dunia yaitu globalisasi, urbanisasi dan perubahan iklim.
Masing-masing grand design itu, gedung hijau, penyediaan air minum/pengelolaan air limbah domestik, kota layak anak, pengelolaan sampah/pertanian perkotaan, dan polusi udara.
Meski demikian, Oswar mengakui bahwa poin polusi udara dari grand design itu masih jauh dari yang diharapkan dari kualitas yang ideal untuk sekelas metropolitan.
“Jadi memang masih belum ideal. Kita akan tingkatkan lagi upaya ini,” tandasnya. (DDJP/alw/oki)