‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Begitulah surat fenomenal Raden Ajeng Kartini dituliskan. Berbagai manuver saat ini tengah mewarnai panggung demokrasi yang memberikan kesan bahwa pemilihan umum (Pemilu) tahun ini adalah masa-masa paling ‘gelap’.
Terhadap sangkaan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dipercaya untuk membuka realitas praktik politik secara terang benderang.
“Antara harapan dan keprihatinan ada di pembacaan putusan MK pada 22 April 2024 lalu. Hasilnya, berbagai tokoh tampaknya tengah memberikan pesan agar rakyat ’legawa’ dan meyakini hasil pemilu tahun ini adalah pilihan yang dianggap terbaik untuk rakyat di lima tahun ke depan,” Mukorobbin membuka komentar.
“Namun demikian, apakah betul hasil Pemilu 2024 ini akan membawa semangat kekuasaan untuk rakyat? Atau justru sebaliknya bahwa Pemilu 2024 hanyalah instrumen jalan tol bagi kaum (phitocrat atau pemilik mobil) rakus yang ingin mempertebal kekayaannya dan melenggangkan ketimpangan?” nyeletuk Jazuli.
“Aku merasa asing terhadap istilah itu. Apa sih arti yang sebenarnya?” tanya Udin Labu.
“Istilah plutokrasi (plutocracy) bermula dari kata bahasa Yunani, plutos atau kekayaan dan kratos atau kekuasaan. Sedangkan secara konsep menurut Xenophon dalam Memorabilia, istilah itu digunakan untuk menggambarkan bahwa kekuasaan hanya dikendalikan orang-orang yang memiliki kekayaan. Jadi, plutokrasi merupakan prima fatie dari oligarki. Fenomena semacam ini pada abad ke- 6 dan abad ke-7 Sebeluim Masehi, pernah menjadi topik percakapan oleh para kalangan filsuf Yunani klasik seperti Socrates, Thrasymachus, dan Glaucon. Menurut mereka, sistem model ini tidak adil. Sekuat apa pun kuatnya pertarungannya, fenomena politik kekuasaan hari ini tak ubahnya akan selalu condong terkesan seperti akrobat Sengkuni dalam memainkan dadu mistisnya melwan Yudhistira dan para Pandawa. Secara konteks, selagi dadu itu dilempar, kekuasaan rakyat akan kalah. Plutokasi akan tetap sama wujudnya dengan makna kiasan dari otak Sengkuni jahat dan manipulatif,” urai Mukorobin.
Karena tak ada yang mmberikan tanggapan atau bertanya, Mukorobin meneruskan. ”Watak jahat kenegaraan plutokrasi kerap ditandai dengan adanya operasi pembungkaman publik melalui skema hukum yang seolah-olah prosedural. Sebagai contoh kasus kriminalisasi terhada pejuang agraris melawan pemilik modal dan kekuaaan besar. Berdasar catatan dari Wahana Lingkungan Hidul Indonesia (WALHI), antara 2014 sampai 2019 terdapat 146 kasus di Pulau Jawa. Sedangkan menurut data yang dihimpun Lembaga Kajian dan Advokasi Masyarakat (Elsam) terdapat 22 kasus pidana antara Januari 2020 hingga April 2020,” papar Mukorobin.
“Apalagi sepanjang tahun 2019, setidaknya terdapat 27 kasus pejuang agraria yang menjadi sasaran kriminalisasi. Kasus ini melibatkan 128 individu dan 50 organisasi kemasyarakatan mengajukan tuntutan hukum. Dari banyaknya kasus tersebt, nyaris semua korban tida mendapatkan keadilan,” Jazuli berkomentar.
“Lho,….. kenapa?” tanya Udin Labu sambil menoleh kepada Mukorobin dan Jazuli.
“Tentu saja contoh per kasus tidak bisa dijadikan sebagai landasan secara langsyng untuk mendeteksi jejaring kaum plutokrasi yang memenangkan kepentingannya di kontestasi pemilu. Namun, yang namanya ikan busuk, pasti bemula dari kepalanya,” kata Mukarom yang sejak semula Cuma jadi pendengar setia.
“Kalau begitu artinya, selagi watak kenegaraan bercap plutokrasi, secara inheren sistem- sistem kekuasaan di bawahnya juga akan mengikuti paradigma kekuasaan di atasnya. Yakni hukum ramah kepada pemilik modal ?” tanya Jazuli.
“Nah, ente tahu. Ngapain dari tadi cumabengong kayaksapi ompong?” kata Mukorobin dan Jazuli hampir berbarengan. (DDJP/stw)