Perjalanan Banjir Kanal hingga Sodetan Ciliwung

September 19, 2024 12:05 pm

Setiap pemimpin kerap dihadapkan pada persoalan yang bersifat krusial dalam proses pembangunan. Tak terkecuali di Jakarta, sekian lama dihadapkan pada persoalan banjir.

Dampaknya, mempengaruhi seluruh aspek kehidupan. Berbagai kendala akibat banjir terjadi pada sektor pelayanan hingga menghambat aktivitas publik.

Bukan tak terpikirkan upaya mengatasi persoalan banjir di setiap musim hujan. Semua pemimpin di Jakarta telah berpikir keras dengan memunculkan ide kreatif dan inovatif membangun infrastruktur penanggulangan banjir.

Ada hasilnya? Tentunya saja ada. Tak ada perbuatan yang sia-sia. Apalagi, bencana banjir menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.

Sejak zaman Kolonial Belanda, Kota Jakarta yang saat itu dikenal dengan sebutan Batavia kerap mengalami banjir ketika musim hujan.

Pada Januari hingga Februari 1918, hujan lebat mengguyur Batavia. Banjir besar tak terelakkan. Permukiman penduduk yang ketika itu masih akrab disebut sebagai perkampungan di sekitar Weltevreden, permukiman elite Belanda mengalami banjir.

Perkampungan dimaksud seperti Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, dan Kemayoran Belakang. Tak lolos dari bencana banjir.

Curah hujan tinggi menyebabkan Kali Ciliwung yang membelah Jakarta dari selatan ke utara meluap hingga membanjiri pertokoan yang berada di kawasan Pasar Baru, Tanah Lapang Singa, dan Schoolweg.

Kawasan-kawasan tersebut berada di pinggir Kali Ciliwung. Bahkan, penduduk di Kampung Pejambon terpaksa mengungsi karena hunian mereka terendam banjir hingga setinggi 1 meter.

Terlebih, Kampung Pejambon merupakan salah satu wilayah dataran rendah di Jakarta saat itu.

Restu Gunawan, dalam buku Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010), mengisahkan bahwa banjir tersebut menyebabkan sarana transportasi umum terhenti.

Trem listrik yang biasanya melintas di Tanah Tinggi, terpaksa tidak bisa melayani penumpang.

Di sepanjang Rijswijk (kini Jalan Veteran), banyak stoomtram yang terkena air. Akibatnya, lokomotif kehilangan tenaga.

Trem itu mogok di tengah air. Sehingga petugas ketika itu berjibaku untuk menarik trem listrik keluar dari kepungan banjir.

Banjir besar pada 1918 juga mendorong naiknya harga kebutuhan pokok atau makanan pada waktu itu.

Harga beras yang membubung tinggi diiringi dengan penyakit kolera yang sedang mewabah di Batavia. Dalam sehari, terdapat 6-8 orang masuk rumah sakit.

Robert M Delinom, seorang pakar hidrologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2014 menulis, banjir Batavia 1918 adalah paling besar dibanding sebelumnya.

Banjir itu merupakan dampak dari pembabatan hutan di Puncak, Bogor, untuk dimanfaatkan sebagai perkebunan teh.

Dalam rapat Dewan Kota pada 18 Februari 1918, Wali Kota Batavia mengusulkan pembangunan kanal banjir Kali Malang yang kini dikenal dengan sebutan ‘Banjir Kanal Barat’.

Guna mewujudkan pembangunan itu, Burgelijke Openbare Werken sebutan untuk instansi Pekerjaan Umum saat itu mengajukan anggaran 500 ribu gulden kepada gubernur jenderal.

Banjir Kanal Barat terbentang dari Manggarai ke barat hingga Karet, lalu berbelok ke utara dan berujung di Muara Angke.

Pembangunannya dimulai sejak 1912 oleh seorang Insinyur Pengairan Belanda Herman van Breen.

Breen awalnya bekerja sebagai kepala kantor Pengairan BOW. Setelah Banjir Kanal Barat selesai pada 1919, laki-laki kelahiran Amsterdam, 21 Mei 1881, itu diangkat sebagai anggota Dewan Kota Batavia.

Situs Pemprov DKI Jakarta mencatat, Van Breen merupakan seorang Belanda yang sangat erat dengan sejarah pengendalian banjir di Jakarta.

Setelah ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda di Departemen Pengairan BOW, ia memimpin ‘Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir’ secara terpadu di wilayah Batavia. Luas area saat baru sekitar 2.500 hektare.

Konsep penanggulangan banjir ala Van Breen sebetulnya sederhana. Hanya saja, perlu dilaksanakan secara cermat dengan biaya besar.

Intinya adalah mengendalikan air dari hulu sungai dan membatasi volumenya ketika masuk ke Kota. Sehingga perlu dibangun kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung air.

Selanjutnya, mengalirkan air ke laut. Saluran kolektor itulah yang disebut banjir kanal.

Seiring perjalanan waktu, Kota Jakarta mengalami perkembangan. Meningkatnya populasi penduduk hingga perluasan area permukiman penduduk dan kemunculan bangunan tinggi (hotel/perkantoran) menggerus kawasan resapan air.

Kondisi demikian berdampak pada munculnya persoalan lama (banjir) yang kembali menghantui warga Jakarta.

Pada 1979, curah hujan tinggi kembali berdampak banjir bagi Kota Jakarta. Sebanyak 20 orang hilang ditelan air entah kemana.

Bahkan saat bencana datang kala itu, Jakarta Selatan yang biasanya aman dari banjir menjadi tak berkutik.

Pondok Pinang tenggelam ditelan air setinggi 2,5 meter. Di daerah itu 3 orang hilang. Puskesmas-puskesmas yang ada di Jakarta pun dikerahkan untuk melayani para pengungsi.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam ‘Evaluasi dan Analisis Curah Hujan sebagai Faktor Penyebab Bencana Banjir Jakarta’ menuliskan, saat itu Kali Ciliwung mencapai debit puncaknya, yakni 743 meter kubik per detik.

Lalu pada periode 9–11 Februari 1996, banjir yang jauh lebih luas genangannya terjadi. Ini akibat seluruh sistem prasarana drainase yang buruk.

Ketika itu, banjir merendam Jakarta hingga setinggi 7 meter. Korban mencapai 20 jiwa.

Selanjutnya, sebanyak 24,25 persen dari luas wilayah Jakarta tergenang saat banjir menerjang sejak 27 Januari-1 Februari 2002, malam hari.

Terdapat 42 kecamatan dan 168 kelurahan tergenang air. Ketinggian air mencapai 5 meter. Korban jiwa tercatat 21 orang.

Lalu pada 1 Februari 2007, tepatnya di malam hari, hujan lebat mengguyur Jakarta hingga keesokan harinya, 2 Februari 2007.

Hujan lebat ditambah sistem drainase yang buruk menciptakan banjir dahsyat. Hingga 60 persen wilayah Jakarta terendam. Sebanyak 80 jiwa menjadi korban dalam kurun waktu 10 hari.

Pada 15–21 Januari 2013, tercatat, sebanyak 20 orang meninggal dunia setelah Jakarta diterjang banjir.

Teraktual pada pergantian tahun 2019 ke 2020, tercatat sebanyak 24 orang meninggal dunia akibat hanyut, sakit, hingga tersengat listrik.

Lebih dari 31 ribu orang mengungsi. Sebanyak 724 wilayah terkena pemadaman listrik. Bahkan, sejumlah ruas jalan dan beberapa titik ruas jalan tol ditutup/tidak bisa dilewati.

Dengan kondisi tersebut, keberadaan banjir kanal barat dan pintu air sebagai pengaturan debit air yang sejak lama dibangun tak lagi cukup mengatasi persoalan banjit.

Sehingga dibutuhkan sebuah terobosan untuk membangun infrastruktur baru guna menanggulangi banjir. Muncul tekad menindaklanjuti ide puluhan tahun silam, yakni membangun Banjir Kanal Timur.

Tujuan BKT untuk melindungi wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara dari banjir akibat luapan Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung, yang kapasitas alirannya masih belum mampu menampung debit aliran air pada puncak musim hujan.

Banjir kanal barat melayani sistem drainase pada wilayah seluas 207 km2 dan dapat mengurangi genangan di 13 kawasan rawan genangan di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara.

Termasuk mengurangi ancaman banjir di permukiman penduduk, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur.

Selain itu, BKT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.

Ide pembangunan BKT telah muncul sejak tahun 1973. Yaitu ketika Pemerintah Belanda (melalui The Netherland Engineering Consultant (NEDECO)) berkolaborasi dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Yaitu mengadopsi konsep Kanal Banjir van Breen dan Rencana drainase komprehensif untuk seluruh Jawa Barat yang diajukan oleh W. J. van Bloemenstein pada tahun 1940-an.

Ide itu sebagai solusi mengatasi banjir di bagian timur Jakarta. Kerja sama tersebut menghasilkan Master Plan of Drainage System dan Flood Control for Jakarta.

Hanya saja, proyek pembangunan BKT tidak segera dilaksanakan, walaupun Master Plan dan desain KBT telah selesai tahun 1973. Satu di antara kendalanya adalah tidak tersedia dana yang cukup.

Pada tahun 1985, Rencana Tata Ruang Jakarta 1985-2005 menetapkan akan memberi perhatian lebih pada sistem drainase kota sebagai salah satu cara penanggulangan banjir.

Strategi penanggulangan banjir tersebut dibagi dalam 3 zona, zona pusat, zona barat, dan zona timur. Zona Timur akan difokuskan pada penyelesaian proyek (bagian pertama di bagian hulu) Banjir Kanal Timur pada tahun 2005.

BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.

Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare.

Rencana pembangunan BKT pun tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta.

Keberadaannya melintasi 13 kelurahan (2 kelurahan di Jakarta Utara dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,5 kilometer.

Total biaya pembangunannya mencapai Rp 4,9 triliun. Terdiri dari biaya pembebasan tanah Rp 2,4 triliun (diambil dari APBD DKI Jakarta) dan biaya konstruksi Rp 2,5 triliun dari dana APBN Departemen Pekerjaan Umum.

Untuk pembuatannya dibutuhkan pembebasan lahan seluas 405,28 hektare. Terdiri dari 147,9 hektare di Jakarta Utara dan 257,3 hektare di Jakarta Timur.

Hingga September 2006, lahan yang telah dibebaskan 111,19 hektare dengan biaya sekitar Rp 700 miliar. Untuk tahun 2007, pembebasan lahan seluas 267,36 hektare dengan biaya Rp 1,2 triliun.

Kenyataannya, pembuatan kanal yang sudah direncanakan lebih dari 30 tahun lalu itu menghadapi pembebasan lahan yang berjalan alot.

Pembangunannya menjadi lambat. Rencana tersebut tidak kunjung selesai direalisasikan, dan banjir seperti yang dirasakan warga Jakarta menjadi kenyataan setiap tahun.

BKT telah rampung. Strateginya adalah mengatasi banjir di wilayah Timur Jakarta dengan cara menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.

Kemunculan BKT tidak seperti aksi sulap yang secara tiba-tiba ada di Jakarta. Proses panjang telah dilewati.

Ide pertama sudah ada sejak era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin hingga rampung di era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.

Meski BKB dan BKT telah mendampingi Kota Jakarta, banjir dan genangan masih menghantui sejumlah kawasan. Upaya mencari solusi lagi-lagi muncul dibutuhkan.

Khususnya infrastruktur yang mendukung optimalisasi banjir kanal barat dan banjir kanal timur. Mulailah diinisiasi pembangunan Sodetan Ciliwung Kanal Timur pada 2012.

Proyek Sodetan Ciliwung mulai dikerjakan pada 2013. Pembangunan Sodetan Ciliwung telah tuntas sepanjang 650 meter pada 2015.

Kemudian dilanjutkan pada 2015-2017 dengan pembangunan permanen outlet dan perkuatan tebing Kali Cipinang.

Sempat terhenti. Kementerian PUPR melanjutkan pekerjaan Sodetan Kali Ciliwung ke Kanal Banjir Timur pada 2021, sepanjang 580 meter.

Meliputi pembangunan terowongan ganda, bangunan permanen inlet dan outlet sodetan, serta lanjutan normalisasi Kali Ciliwung dan Kali Cipinang.

Sodetan Ciliwung berupa terowongan sepanjang 1.268 meter dengan 2 jalur pipa masing-masing berdiameter 3,5 meter dapat mengalirkan debit Kali Ciliwung sebesar 60 m3/detik ke BKT.

Sehingga sodetan ini dapat mengurangi area terdampak banjir seluas 107 ha. Dengan keberadaan pompa air Sentiong dan normalisasi Ciliwung, maka risiko kawasan yang tergenang banjir bisa berkurang.

Sodetan Ciliwung di wilayah Jakarta Timur terealisasi di era kepemimpinan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) langsung meresmikan Sodetan Ciliwung pada 31 Juli 2023. (DDJP/df/berbagai sumber)