Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) berupaya untuk mengoptimalkan program e-Waste hingga memperbanyak unit instalasi pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Nova Harivan Paloh mengatakan, bahwa pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah B3 adalah masalah serius yang harus disikapi secara matang antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Sementara sejauh ini
proses pengelolaan limbah B3 di wiilayah DKI Jakarta saat ini masih terus terkendala dengan terbatasnya ketersediaan Tempat Pengolahan Sementara (TPS) khusus limbah B3.
“Kalau kita lihat selama ini pihak swasta ini sudah ada ya beberapa perusahaan untuk pengolahan limbah beracun (B3), saya rasa juga DKI ini harus mempersiapkan juga bagaimana kalau pengelolaan baterai, kemudian aki itu harus bisa diolah dengan baik. Jangan sampai sudah ada program e-waste, tapi malah mencemari lingkungan,” katanya, Jumat (6/3).
Dalam kesempatan itu, Nova mengusulkan kepada Dinas Lingkungan Hidup (LH) sebagai leading sector penggagas program e-Waste perlu melihat implementasi pengelolaan limbah B3 di Surabaya. Menurutnya, pengelolaan limbah yang dilakukan tak hanya sebatas untuk jenis B3 saja. Namun, ada juga terdapat penanganan khusus sejumlah produk-produk maternal seperti popok bayi.
“Jadi kalau di Surabaya, masalah popok juga menjadi momok buat mereka, makanya tempat pengurainya itu tidak hanya limbah B3 saja, popok juga termasuk. DKI Jakarta dengan penduduk 11 juta persoalan seperti ini mungkin juga akan menjadi masalah di kemudian hari,” terangnya.
Dengan demikian, Nova Harivan Paloh berharap Dinas Lingkungan Hidup (LH) untuk terus mematangkan kajian-kajian dalam rangka mengantisipasi darurat pencemaran lingkungan hidup yang terus terjadi akibat limbah B3. Termasuk, penempatan lokasi TPS Khusus Limbah B3 yang aman dan tidak mudah terjangkau secara langsung di lingkungan masyarakat.
“Jadi mungkin yang harus kita coba tingkatkan adalah bagaimana langkah-langkah preventif untuk pengelolaan limbah-limbah yang saya kira tidak hanya anorganik dengan organik saja, tapi ada satu lagi yaitu popok dan limbah B3 seperti batere maupun aki,” ungkap Nova.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup (LH) telah mengumpulkan sebanyak 53.603 limbah elektronik. Limbah itu dikumpulkan oleh Satuan Pelaksana serta dropbox yang diletakkan di kantor-kantor pemerintahan serta upaya jemput bola ke rumah-rumah warga.
Rinciannya, pada 2018 ada sebanyak 37.039 unit limbah elektronik yang berhasil dikumpulkan dan terdiri dari 33.396 unit (209 kg) dari Satpel LH, 3.622 unit dari layanan dropbox serta 11 unit dari layanan jemput limbah.
Sementara, pada 2019 ada sebanyak 16.574 unit limbah elektronik yang dikumpulkan terdiri dari 5.489 unit (11.352 kg) hasil pengumpulan oleh Satpel LH, 11.015 unit dari dropbox dan 70 unit dari layanan jemput limbah. Limbah elektronik (e-waste) adalah barang atau peralatan elektrik dan elektronik yang sudah usang, sudah berakhir daur hidupnya dan tidak lagi memberikan nilai atau manfaat bagi pemiliknya. E-waste dapat bersumber dari rumah tangga dan juga hasil kegiatan usaha seperti dari perkantoran, sekolah, hotel, apartemen dan lain-lain.
Berdasarkan data dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 2018, diprediksikan jumlah e-waste akan mencapai 52 juta ton pada tahun 2021. Sedangkan, yang belum banyak disadari oleh masyarakat pada umumnya adalah pada limbah elektronik tersebut tersimpan potensi bahaya yang berasal dari kandungan logam-logam berat didalamnya sehingga dapat mencemari lingkungan maupun ganggguan kesehatan manusia.
Karena adanya potensi tersebut, maka limbah elektronik tergolong dalam limbah berbahaya dan beracun (limbah B3). Oleh sebab itu, limbah elektronik/e-waste penanganannya tidak sama dengan sampah anorganik lainnya.
Selain itu, disinyalir banyak praktik-praktik salah dalam pengelolaan e-waste yang dilakukan pihak tertentu untuk mendapatkan logam-logam mulia yang berada di dalamnya. Hal ini menyebabkan potensi pencemaran lingkungan di wilayah DKI Jakarta, baik pencemaran air, udara maupun tanah. (DDJP/alw/oki)