Saat habis makan siang di Warung Tegal, Warjiyono mendekati seorang laki-laki yang sudah cukup umur.
Meskipun lelaki itu masih kelihatan fresh. Walau memakai pakaian sangat sederhana.
“Ngomong-ngomong umur berapa Pak?” tanyanya kepada laki-laki tua itu.
“Memangnya kenapa?” laki-laki tua itu ganti bertanya.
“Walau sudah sepuh, tapi Bapak kelihatan masih fresh. Masih happy. Resepnya apa Pak?” tanya Warjiyono penasaran.
“Resepnya simple. Selalu mensyukuri nikmat dari Allah SWT. Hidup jangan ngoyo,” jawabnya.
“Bapak masih kerja?” tanya Warjiyono lagi.
“Masih,” kembali laki-laki itu menjawab singkat.
“Kerja apa Pak?” Warjiyono semakin penasaran.
“Pemulung,” jawab singkat itu kembali diucapkan.
“Pemulung?” kata Warjiyono manggut-mangggut.
”Mau tanya, Pak. Kalau besi-besi bekas berapa harganya per kilogram?” tanya Warjiyono.
“Tidak tahu,” jawab lelaki itu.
“Kalau karton bekas?” lanjut tanya Warjiyono.
“Nggak tahu juga,” jawab lelaki tua tersebut.
“Lha, kalau botol dan gelas air mineral bekas?” Warjiyono semakin penasaran.
“Apalagi itu. Saya tidak tahu sama sekali,” jawab laki-laki itu lalu meninggalkan warung.
“Lho, katanya pemulung. Kok semunya nggak tahu,” kata Warjiyono.
“Dia memamg pemulung. Tetapi bukan memulung barang-barang bekas seperti yang anda maksud,” kata pemilik warung kepada Warjiyono.
“Lho, lalu…… pemulung macam mana?” tanya Warjiyono.
“Dia itu pemulung kata-kata. Ini karyanya,” kata pemilik warung itu sambil menyodorkan sebuah buku berjudul ‘Menggayuh Langit’. (DDJP/stw)