Sebagai perempuan yang lahir di Jakarta dan setelah dewasa, Utami menyetir kendaraan bernotor sendiri. Ia mengaku, hampir pasrah menghadapi fenomena tukang parkir liar.
Utami mengaku kesulitan menghadapi tukang parkir liar yang selalu minta uang. Padahal, uang yang diterima tidak dibarengi tanggung jawab terhadap nasib kendaraan yang diparkir.
“Susah-susah sendiri mencari celah di parkiran terbatas di pinggir jalan. Begitu keluar, dimintai uang. Padahal juga, kalau sampai amit-amit, mobil lecet atau dicuri maling saat parkir, tukang parkir akan ‘cuci tangan’. Pertayaannya, beranikah tidak kasih uang? Kalau itu terjadi, mobil digebrak, itu minimal,” kata Utami, kepada teman-temannya disela-sela menikmati mie ayam di warung Bu Darmi, kawasan Jatinegara, Jakarta Timur.
“Paling jengkel adalah masuk ke area bergardu parkir resmi. Tetapi di dalam masih ada tukang parkir setempat. Puluhan tahun sebelum direnovasi, demi Asian Games 2018 itu kondisi GBK hingga saat ini, tetap begitu disegenap kawasan Jakarta. Tahun lalu, seorang warga Twitter mengomel tentang situasi ini di Blok M. Tukang parkir hilang sebentar, muncul lagi setelah kecaman publik mereda,” Agustin bertutur.
“Saya berusaha jernih melihat fenomena ini lebih dari tukang parkir sebagai individu. Tetapi sebagai gado-gado basi dari setumpuk isu. Pertama, ketidakmampuan pemerintah menyediakan transportasi umum yang nyaman, terjangkau dan terkoneksi secara baik. Sehingga, rakyat merasa perlu memiliki kendaraan pribadi. Saat pendapatan naik lebih cepat dari ruang bermoblitas, bukan saja jalanan macet, kebutuhan lahan parkir pun meroket,” papar Utami.
“Padahal, lahan cenderung terbatas baik tempat usaha mandiri atau tersedia, tetapi mahal dalam gedung. Akhir-akhirnya, muncullah ‘pasar gelap’ parkir. Yang penting bisa meletakkan kendaraan dalam jarak dan biaya terjangkau,” Sugiharti menimpali.
“Hampir seluruh jalan kecil di belakang jajaran gedug pencakar langit Jl. Jenderal Sudirman dan Jl.Jenderal Gatot Subroto menawarkan perparkiran partikelir. Masing-masing dikawal tukang parkir. Contoh lain, kawasan di belakang Senayan City, sekian rumah menyulap diri sebagai rumah indekost, warung makan, dan parkiran motor pekerja mal dengan tarif parkiran lebih rendah dari mall,” tutur Agustin.
“Ya. Lahan persoalan kedua. Ketiga, jumlah manusia kerja selalu melampaui jumlah pekerjaan. Selain seretnya pemerintah menyuburkan iklim bisnis demi menyerap tenaga kerja, harus diakui pula keserampangan orang Indonesia berproduksi tanpa henti. Begitu juga angka kelahiran, terus meningkat setiap tahun,” kata Utami.
“Tiap anak punya rezekinya masing-masing. Ditelan mentah-mentah jutaan orang sekian generasi, sehingga sampailah di sini, 280 juta jiwa dengan persentase terbesar usia muda tanpa lapangan kerja memadai,” kata Agustin, ibu enam orang anak yang merasa tersindir.
“Sialnya, dibarengi sistem pendidikan yang tak selalu mencetak manusia yang cerdas akademis atau minimal terampil. Akhirnya, bekerja di sektor informal, atau bekerja serabutan. Yang penting bisa makan. Termasuk jadi tukang parkir liar,” kata Sugiharti setengah emosi.
“Sebelum Anda marah-marah, silakan tengok laporan Badan Pusat Statistik terbaru tentang 10 juta warga negara berusia 15-24 tahun, terhitung Generasi Z (12-27) tahun) yang tidak sekolah atau bekerja (not employment, education, and training). Nah, bisa dibaca juga strata ekonomi dari mayoritas 10 juta jiwa itu,” ungkap Utami.
“Kamu jangan menyindir. Dari 10 juta yang nganggur itu, termasuk saya dan Agustin,” kata Sugihart sambil menepuk pundak Utami dan mengajak Agustin meninggalkan mereka. (DDJP/stw)