Setiap tahun jelang bulan suci Ramadan, jam operasional tempat hiburan malam (THM) kerap menuai perhatian publik. Kalangan legislator di Kebon Sirih berpendapat, situasi dan kondisi tersebut harus diatur lewat regulasi yang kuat.
Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Alia Nurayu Laksono mengatakan, mekanisme pengawasan jam operasional THM selama Ramadan harus dilaksanakan dengan ketat, adil, dan transparan.
Hal itu, sambung Alia, perlu melibatkan berbagai instansi dengan memperkuatkoordinasi. Seperti Dinas Parekraf, Satpol PP, dan aparat penegak hukum.
Termasuk melibatkan perwakilan masyarakat (tokoh agama atau organisasi kemasyarakatan). “Untuk melakukan inspeksi rutin ke tempat hiburan malam,” ujar dia, beberapa waktu lalu.
Kemudian, tegas Alia, harus ada pengaturan yang jelas dan terukur. “Jika melanggar maka diberikan sanksi yang tegas, mulai dari teguran, denda, hingga pencabutan izin usaha,” kata dia.
Selanjutnya, pengawasan dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan pelaporan masyarakat. “Seperti (melalui) Aplikasi JAKI atau melalui kanal pengaduan resmi Pemprov DKI Jakarta,” ungkap Alia.
Selain itu, lanjut politisi Partai Golkar itu, pemangku kebijakan perlu berdialog dengan para pengusaha dalam penyusunan aturan.
Dengan demikian, kebijakan dapat dijalankan tanpa diskriminasi. Tetap memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk beroperasi sesuai dengan regulasi.
Penerapan sistem inspeksi mendadak (Sidak) ke tempat hiburan malam juga perlu dijalankan secara intensif. “Guna memastikan kepatuhan terhadap aturan operasional,” tandas Alia.
Efektivitas Pengawasan
Sebagai wakil rakyat, Alia juga memiliki tanggung jawab memastikan setiap kebijakan berdampak nyata bagi keseimbangan kepentingan ekonomi dan nilai sosial selama bulan Ramadan.
Karena itu, Alia mendorong penyusunan peraturan daerah (Perda) yang permanen tentang pengaturan operasional THM. “Dengan dasar hukum yang kuat, kebijakan ini tidak akan terkesan seremonial,” imbuh dia.
Di samping itu, mendorong program hiburan alternatif yang sesuai dengan nilai budaya dan keagamaan. Seperti
festival Ramadan atau wisata kuliner malam.
“(Kegiatan-red) yang dapat menjadi pengganti hiburan malam bagi masyarakat selama bulan suci,” tutur Alia.
Selanjutnya, tambah Alia, mengevaluasi berkala. Seperti laporan mingguan, memastikan pengawasan berjalan efektif. Termasuk penyesuaian strategi, jika terdapat kendala.
Ia juga mengatakan, perlu memperhatikan kesimbangan kepentingan tenaga kerja di sektor hiburan.
Tentunya dengan memastikan pekerja hiburan malam tidak terdampak ekonomi secara signifikan akibat pembatasan jam operasional.
“Jika perlu, Pemprov DKI Jakarta menyiapkan dukungan anggaran sebagai insentif, baik bagi petugas lapangan maupun bagi karyawan yang terdampak,” tukas Alia. (df)