Mang Udin tinggal di Bekasi Udik. Sejak kecil hingga remaja memang tidak dibiasakan berpuasa.
Setelah besar dan berumahtangga, puasanya sering ‘bocor’ di tengah jalan.
Di rumah, Mang Udin berpuasa. Tapi di Kelapa Gading, tempat dia bekerja, puasanya sering bocor di tengah jalan.
Di suatu malam, saat makan saur bersama Kokom, isterinya, sebagai pegawai rendahan dan hidupnya masih susah, makan sahur cuma nasi dengan pepes oncom.
Walau cuma dengan lauk oncom, Udin bisa menghabiskan dua piring nasi.
Tepat tengah hari, saat istirahat kerja, perutnya melilit-lilit karena lapar.
Ia pun pergi ke warung nasi pinggir jalan untuk mengisi perutnya.
Kendati lauknya cuma toge goreng dan tempe goreng, ia pun menikmatinya dengan lahap.
Saat pulang kerja, Udin naik kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta–Krawang.
Karena penumpangnya padat, ia tak dapat tempat duduk dan berdiri di sambungan gerbong kereta api.
Selama perjalanan, Udin diterpa angin terus-menerus.
Akibatnya, Udin nggak enak badan. Perutnya mual. Kepala pusing. Kiranya masuk angin.
Sesampai di rumah, ia minta dikeroki Kokom, istrinya.
Dengan penuh kasih sayang, Kokom pun mengeroki punggung Udin.
Baru beberapa kerokan, Mang Udin muntah-muntah. M
Melihat isi muntahannya itu, Kokom kaget bukan main.
Dengan rasa kesal, Kokom berteriak.
“Bang, semalam kita sahur kan lauknya pepesan oncom. Kok, keluarnya toge,” celoteh Kokom sambal membanting koin yang digunakan untuk kerokan. (stw/df)