Belakangan Bang Miun kelihatan begitu getol memperbaiki halaman rumahnya. Got-got yang semula mampet, lumpurnya dikeruk bersih untuk ngurug halaman rumahnya.
Kandang kambing dan bebek yang semula berada di sebelah barat halaman rumahnya, dipindah ke halaman belakang. Centeng Pulau Bidadari itu memang termasuk orang yang cukup disegani masyarakat di wilayahnya.
“Wah, Bang Miun keliatan getol amat. Lagi ngimpi apaan Bang ?” taya Sanwil yang kebetulan lewat depan rumah Bang Miun.
“Orang kata, warga yang baik kan perlu siap-siap,” jawab Bang Miun tetap serius.
“Maksud Bang Miun?” tanya Sanwil tak mengerti.
“Pikiran lu kagak maju-maju. Kok malah mundur,” jawab Bang Miun enteng sambil kacak pinggang.
Mendengar ucapan Bang Miun itu, terus terang Sanwil agak sakit hati. Tapi, mengingat Bang Miun dikenal luas sebagai jawara di Kepulauan Seribu, maka Sanwil tidak berani melawan.
Cuma raut mukanya tampak merah menahan amarah. Sebab, kalau Bang Miun sudah ngomong begitu, tak seorang pun yang berani melawan.
“Sebagai warga yang baik, ente kudu tahu diri. Sebentar lagi, daerah kita ini mau jadi Kota Administratif. Orang bilang tinggal nungggu gong-nya saja. Menteri Dalam Negeri juga sudah setuju. Kita, sebagai warga yang baikk kudu loyal membangun lingkungan kita sendiri,” urai Bang Miun.
“Ape Bang Miun bilang? Kita kudu royal? Boro-boro royal, duit aja kagak gablek. Emangnya royal kagak pake ongkos?” Sanwil menimpali.
“Dasar kepala lu peang. Kuping lu budeg kali ya. Siape bilang royal ? Dasar lu !” kata Bang Miun marah.
“ Loyal itu jenis makanan apa sih Bang ?” tanya Sanwil yang tak pernah makan sekolahan ingin tahu.
Ketika Bang Miun kasih tahu maksudnya, Sanwil hanya manggut-manggut lalu ngeloyor pergi. Sementara, tetangga Bang Miun yang tahu persis kenapa Bang Miun begitu getol beberes halamannya, kasak-kusuk membicarakan tentang obsesinya agar terpilih menjadi aparat keamanan kantor kabupaten atau Satpam Kabupaten.
“Sebagai warga kan boleh-boleh saja punya obsesi. Kalau ggak kepilih jadi satpam di kantor Kabupaten Kepulauan Seribu, kan tugas ane tetep jadi aparat keamanan lingkungan alias keamanan rakyat alias Kamra!” kata dia.
Kosep Bang Miun memang cukup matang. Angan-angannya, keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibas) di Kepulauan Seribu bisa ditingkatkan.
Karenanya, setiap ngerumpi dengan tetangga, topik itu pula yang selalu dibicarakan. Usai ngurug halamannya, karena kecapean Bang Miun tertidur pulas di kursi bambu di bawah pohon jambu.
Ia lupa bahwa hari itu harus datang ke kantor kelurahan untuk membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) yang sudah tiga tahun tidak dibayar.
Natsir dan Ulo telah janjian pun membangunkan Bang Miun yang tertidur pulas dan mendengkur.
“Siap Pak Bupati. Saya siap melaksanakan tugas!” kata Bang Miun gelagapan lalu bangun dan berdiri sambil mengucak-ucak matanya.
“Oooh,….. maafin saya Bang Natsir dan Bang Ulo,” kata Bang Miun dengan raut wajah semu merah.
“Gila lu. Siang hari bolong gini ngigau,” kata Bang Natsir dan Bang Ulo berbarengan.
“Orang kata,……. Begitulah……….” jawan Bang Miun.
“Un………Miun. Pikiran lu rupanya sudah terkontaminasi sama obsesimu jadi Satpam.” kata Bang Natsir dan Bang Ulo hampir berbarengan.
Mereka tahu persis kalau Bang Miun berobsesi menjadi Satpam Kantor Kabupaten Kepulauan Seribu. Bang Miun pun tidak berkata apa-apa.
Kecuali Cuma cengar-cengir dan buru-buru mandi dan ganti pakaian segera ikut Bang Natsir dan Bang Ulo membayar PBB ke Kantor Kelurahan. (DDJP/stw)