Nostalgia, Wabah Pes hingga Perjuangan Kemerdekaan

August 20, 2024 10:07 am

Ketika pertama kali muncul wabah pes, saat itu belum diketahui jenis penyakitnya. Hal pertama yang diduga sebagai penularannya lewat orang-orang yang baru pulang dari naik haji dan pekerja asal Cina. Sejak kehadiran Snouck Hurgronye di Hindia Belanda, maka lumrah bila pelaksanaan haji menjadi pusat penularan penyakit menular.

Pengalaman naik haji, memberikan pengetahuan bagaimana perlunya karantina bagi jemaah haji. Misalnya, karantina yang ada di Konstantinopel, Hurgronye menilai tak memenuhi kelayakan.

Mulai dari perahu ke darat hingga di rumah karantina yang buruk sanitasinya, seperti ditulis De Sumatra Post edisi 28 Juni1909, mengutip surat Snough Hurgronye.

Namun, dugaan penularan pes di Jawa berasal dari orang-orang yang pulang dari Tanah Suci Makah tak terbukti. Saat serangan penyakit itu muncul di Malang, Jawa Timur, Oktober-November 1910, jemaah haji dari Jawa belum tiba di Tanah Air.

Lalu dugaan tinggal satu, yaitu dari Cina. Namun, juga tak terbukti. Hingga akhirnya ditemukan penyebab pastinya. Ketika tikus-tikus di gudang beras di Malang, Jawa Timur banyak yang mati. Terdapat kutu pes yang terbawa di beras yang diimpor dari Burma (Myanmar-sekarang).

Pes juga sudah mewabah di berbagai negara. Maka, orang-orang yang baru pulang haji saat itu pun tetap di karantina. Pulau Onrust di Kepulauan Seribu sejak tahun 1911 dijadikan sebagai tempat karantina haji hingga tahun 1940, sebelum berganti sebagai tempat tawanan orang-orang Jerman.

Karena itu, desakan pelarangan berhaji yang semula sangat politis, ketika ada wabah ini, pelarangan pun diarahkan ke persoalan ancaman wabah itu. Apalagi saat itu belum ada keterlibatan pemerintah menetapkan kuota haji. Sehingga, orang-orang Jawa naik haji berdasarkan keinginan mereka berangkat.

Banyak Saran

Koran-koran Belanda, termasuk De Tijd terbitan 25 Juli 1910 mencatat, orang Jawa naik haji bukan karena motif agama, melainkan karena martabat.

Karena itu, setelah orang dari Tanah Suci, mereka akan dianggap sebagai orang suci. Karena itu, masyarakat awam tak bisa menolak jika orang-orang suci itu mempunyai keinginan kepada mereka.

Semula, pelarangan haji perlu dilakukan karena alasan ini. Namun, pada tahun 1911, muncul pandangan bahwa haji tak perlu dilarang.

Karena bagian dari orang-orang Islam menjalankan perintah agama. Pemerintah cukup diminta melarang penggunaan pakaian jubah dan surban bagi orang-orang yang sudah berhaji. Inilah saatnya, saat ada wabah pes.

Ada juga usulan melakukan degradasi jubah haji, seperti yang ditulis Het Vaderland edisi 20 Juli 1911. Pemerintah Hindia Belanda perlu membagi-bagikan jubah haji ke anggota tentara pribumi untuk dipakai mereka.

Dengan cara ini, diharapkan akan muncul pandangan bahwa berhaji akan sia-sia karena tanpa berhaji pun bisa memakai jubah haji dan surban. Orang-orang awam tak akan bisa membedakan mana yang haji palsu dan mana yang haji asli.

Untuk pelarangan jubah haji, menurut De Tyd, di satu desa hanya boleh satu orang yang mengenakan, yaitu modin. Kemudan, di satu wilayah administrasi asisten residen yang boleh memakai jubah haji hanya satu penghulu dan satu naib.

Namun pada tahun 1913 dan 1914, jemaah haji dari Hindia Belanda justru mencapai jumlah tertinggi sejak 1878. Pada tahun 1913 tercatat ada 26.321 jemaah.

Pada tahun 1914 tercatat sebanyak 28.427 jemaah. Sedangkan pada tahun 1915 dan 1916, jemaah dari Hindia Belanda nihil. Pada tahun 1917 hanya sebanyak 72 jemaah dan tahun 1918 sebanyak 48 jemaah.

Itu terjadi karena pecah Perang Dunia I, sehigga kapal-kapal ke Jedah tak bisa terjadwal secara teratur.

Krisis Ekonomi

Wabah pes saat itu cukup lama. Dari akhir tahun 1910 higga akhir dekade tahun 1930-an. Betapa beratnya masa-masa itu. Apalagi muncul wabah penyakit lain dan krisis ekonomi.

Belum lagi harus berhadapan dengan pemerintah kolonial yang represif terhadap gerakaan nasionalisme yang baru tumbuh.

Pada akhir tahun 912, misalnya, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dan dr Soewardi Sorjaningrat harus menjadi orang buangan karena sikap kritisnya.

Tjipto mengkritik pembiaran yang dilakukan pemerintah kolonial yang meminta sumbangan untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis. Tetapi membiarkan masyarakat di daerah wabah swadaya megatasinya.

Karena itu, Tjipto mengusulkan pajak wabah sehingga semua orang terlibat. Tidak hanya mereka yang ada di daerah yang terkena wabah.

Pamflet yang dibuat Komite Boemi Poetera pada 13 Juli 1913 berisi tulisan Soewardi yang mengritik rencana perayaan kemerdekaan itu pada November 1912, membuat pemerintah meradang.

Tjipto selaku Ketua Komite Boemi Poetera, Soewardi (sekretaris), Wignjodisastro (bebdahara) dan Abdoel Moeis, menerjemahkan tulsan Soewardi dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu, ditangkap pada 29 Juli 1913.

Koran tempat Tjipto bekerja, DE Express (23 Maret 1916), mendukung perlunya upaya itu. Namun, fokus pada swadaya pribumi di Jawa.

”……… mari berhitung kasar. Penduduk pribumi Jawa dikatakan ada 40 juta. Misalkan rata-rata menawarkan satu gubang per jiwa, dan itu masih mungkin, maka ini sudah satu juta gulden,” tulis dia. (DDJP/stw/df)