Nostalgia, Perayaan Hari Kemerdekaan di Tahun 1950-an

August 16, 2024 3:08 pm

Setelah mendapat pengakuan kemerdekaan dari Belanda, Indonesia menggelar Pasar Malam. Pasar Malam pertama kali itu digelar di lapangan Merdeka, dari tanggal 17 Agustus 1950 hingga 17 September 1950.

Lapangan Mrdeka, pernah dikenal sebagai Lapangan Ikada. Sebelumnya, dikenal sebagai Pasar Gambir dan sekarang dikenal sebagai Taman Monumen Nasional (Monas).

Sejak Juli 1950, pengumuman sudah dilakukan. Iklan-iklan dipasang di koran untuk menawarkan stand pameran. Jangan sampai kehabisan! Disewakan stand-stand, tontonan, keramaian, rumah makan dan lain sebagainya.

“Disewakan tanah-tanah, guna tuan bangun stand sendiri”. Demikian bunyi iklan yang dimuat di koran-koran lokal.

Di hari pelaksanaan, ada lebih dari 100 stand yang ikut serta. Termasuk di antaranya perusahaan-perusahaan Belanda dan Komisaris Tinggi Belanda.

Hari kemerdekaan kala itu memang patut dirayakan besar-besaran setelah lima tahun menjalani revolusi, lantaran Belanda masih merasa memiliki wilayah Hindia Belanda, meski Indonesia sudah memerdekakakan diri.

Alhasil, setelah proklmasi kemerdekaan hingga akhir tahun 1949, Indonesia masih melakukan revolusi melawan Belanda.

Sejarawan Priyantono Oemar mencatat, malam hari di malam kemerdekaan 1950, Presiden Soekarno mengadakan pesta kebun di taman istana yang dihadiri berbagai undangan. Termasuk korps diplomatik.

Acara dimeriahkan dengan lomba panjat pinang. Tapi, pada tahun itu ia belum menemukan catatan lomba panjat pinang di tahun 1950-an dan baru menemukannya pada tahun 1954.

Ada tiga bambu di halaman kantor Camat Gambir, Kebon Sirih. Di puncaknya ada bambu melingkar bergantung beragam hadiah yang berkibar-kibar diterpa angin. Di hampir pucuk tiang, ada hadiah berupa kain.

Tiang bambu itu dilumuri minyak. Ketika para pemanjat meluncur jatuh, penonton terbahak-bahak girang. Maka, para pemanjat memakai akal dengan menggunakan tali, kain lap, atau pasir, untuk menghilangkan minyak di tiang bambu, sehingga licinnya berkurang.

Larangan

Masih di tahun 1950, di Kali Ciliwung, dekat Istana Merdeka, disediakan perahu hias. Pengunjung membayar Rp2. Di malam hari, di atas Kali Ciliwung dihiasi lampu penerang. Ribuan warga mendatangi lokasi ini.

Meski ada perayaan besar-besaran, tak berarti tak ada yang berduka. Jika pada tahun 2020 ada larangan merayakan hari kemerdekaan, karena masih masa Pandemi Covid-19.

Pada tahun 1950-an juga ada larangan pawai yang memunculkan tuntutan atau semboyan partai, golongan, atau perorangan. Termasuk di dalamnya larangan melontarkan sindiran atau anjuran destruktif terhadap partai, golongan, atau perorangan.

Larangan tersebut juga berlaku di tahun 1951. Demikian pula di tahun 1952. Apalagi suhu politik pada tahun 1952 sedang memanas sejak Maret 1952.

Puncaknya, peristiwa 17 Oktober 1952. Tentara mengarahkan tank ke Istana Merdeka. Larangan tak hanya diberitahukan di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain.

Larangan dikeluarkan oleh Gubernur Militer di masing-masing daerah. Sehingga pada tahun 1950, sejumlah ormas kiri pun memprotesnya.

Di antara Ormas yang protes, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Rukun Tani Indonesia,, Front Nasional Pemuda, yang di dalamnya ada 14 organisasi kepemudaan, dan Gerakan Wanita Isteri Sadar (Gerwis).

Larangan itu mereka anggap mengebiri demokrasi. Sebab baru memproklamasikan revolusi, konsolidasi sedang diaktifkan. Itulah sebabnya keluar larangan seperti itu.

Lembaga parlemen juga masih sementara. Yakni, hasil penggabungan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat (DPRS RIS) dan Senat RIS yang berkoordinasi munculnya peristiwa 17 Oktober 1952.

Selama 1945-1949 pun kabinet selalu berganti. Termasuk ketika negara berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS).

Kemudian berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat Hindia Belanda mengalihkan pemerintahannya ke Papua, setelah memberikan pengakuan resmi Kemerdekaan Indonesia.

Diganti Merah Putih

Setelah ada pengakuan, satu per satu penyerahan dilaksanakan. Di Sumatera Utara misalnya, Pangkalan Udara ke-11 dan Skuadron Penerbangan Militer ke- 122 diserahkan ke Angkatan Udara RIS pada 18 April 1950.

Bendera Belanda diturunkan, diganti dengan bendera Merah Putih melalui sebuah upacara. “Turunkan benderanya !” perintah Kapten Rouken.

Pelahan-lahan, bendera tiga warna Belanda turun. Semua yang hadir berada di depan tiang bendera dan mengambil sikap hormat.

Bendera kemudian diserahkan kepada Kapten Roukens yang kemudian menyerahkannya kepada Kolonel W. Leyder.

Dari pihak RIS, ada Kolonel Sujono yang menyerahkan bendera kepada Letnan Muljono untuk dikibarksn mengantikan bendera Belanda.

“Kami hanya mengenal satu moto. Yaitu bekerja keras sebaik mungkin,” ujar Kolonel Muljono memberikan sambutan setelah mengibarkan bendera Merah Putih. Kemudian, ia mendoakan hal yang terbaik untuk kepergian Belanda.

Di Jakarta, serah terima juga terjadi di markas tentara, Merdeka Utara, 26 Juli 1950 pagi. Bendera tiga warna yang berkibar di Mabes Umum di Merdeka Utara diturunkan digantikan dengan bendera Merah Putih.

Panglima Angkatan Bersenjata Belanda di Indonesia, Jenderal Buurman van Vreede membuka upacara. Ia menegaskan bahwa markas besar dibubarkan.

Setelah bendera Belanda diturunkan, giliran Kepala Staf TNI Angkatan Darat RIS Kolonel Nasuhn berpidato: “Mewakli Menteri Pertahanan Sri Hamengku Buwono IX yang masih di Yogyakarta. Nasuhon mengucapkan selamat jalan kepada Buurman yang akan pulang ke Belanda malam harinya.

Usai Nasuhon berpidato, bendera Merah Putih pun dikibarkan. TNI kemudian menjaga gedung yang menjadi kantor Nasuhon, kolonel yang pada 17 Oktober 1952 mengerahkan tank-tank di Lapangan Merdeka mengarah ke Istana Merdeka. (DDJP/stw/df)