Nostalgia Kota Jakarta (1): Kramat Raya, Salemba, dan Matraman

July 8, 2024 7:06 pm

Menyusuri Jalan Daru, Kramat Raya hingga Matraman yang berjarak sekitar 5 KM, terbesit ingatan akan kembali pada hiruk-pikuk politik masa lalu. Pada masa tahun 1950-an dan 1960-an.

ada kiri-kanan jalan-jalan tersebut pernah menjadi pusat kegiatan partai politik dan organisasi massa. Di Jl. Kramat Raya No. 45, bersebelahan dengan Gedung Pertamina dan Bioskop Rivoli yang sudah ‘almarhum’, Partai Islam Masyumi bermarkas.

Setelah Masyumi dibubaran, Presiden Soekarno awal tahun 1960-an bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI), selanjutnya menjadi gedung pusat Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) berdiri sejak tahun 1967. Di gedung yang cukup luas itu, oleh DDI pada tahun 1980-an dibangun masjid mewah, Al-Furqon.

Di Jl.Kramat Raya No.45 inilah, para tokoh Masyumi seperti Ketua Umumnya Muhammad Natsir, Sukirman Wirjosanjoyo, Prawoto Mangunpuspito, dan Mr. Muhammad Roem mengatur strategi perjuangan di ruang kerja yang belum ber-AC. Kesibukan semakin menjadi padat saat-saat menjlelang Pemilu 1955 yang diikuti puluhan partai politik dan organisasi massa.

Membicarakan perjuangan Masyumi, tidak afdol jika tidak mengangkat Isa Anshari. Dialah singa podium yang dalam kampanye-kampanyenya menyerang Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam kampanye-kampanye Pemilu pertama di era demokrasi liberal itu, Masyumi dan PKI merupakan dua musuh bebuyutan.

Keduanya terus saling menghujat dan jegal-menjegal. Masyumi mempunyai organsasi pemuda, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang bermarkas di Menteng Raya, Jakarta Pusat. Sedangkan PKI punya Pemuda Rakyat dan seperti induknya.

Lekra, HSBI dan LESBUMI

Tidak jauh dari kantor Masyumi terdapat CC PKI. Lokasinya di samping Jl. Kramat Lontar. Di sinilah tiga petinggi PKI yang masih berusia muda, DN Aidit, Lukman dan Nyoto, merupakan musuh bebuyutan Masyumi, menggerakkan roda partai dan mencari massa sebesar-besarnya.

Pada tahun 1950-an yang merupakan awal kemerdekaan, situasi memanas ketika muncul Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang disponsori Aidit, Nyoto, dan MS Ashar.

Kemudian bergabung Pramoedya Ananta Toer bersama seniman-seniman kiri lainnya yang waktu itu sudah berdiri Himpunan Seniman dan Budayawan Islam (HSBI).

Disusul Lembaga Seniman dan Budayawan Indonesia (LESBUMI). Antara lain dipimpin Asrul Sani dan Djamaluddin Malik.

Hanya beberapa hari setelah meletusnya G30 S/, CCPKI yang menjadi salah satu gedung palng megah yang dimiliki parpol-parpol ketika itu, ludes dibakar massa saat terjadi pangganyangan besar-besaran. Kini, letak bekas gedung CC PKI tersebut bersebelahan dengan Hotel Aston.

Di jurusan yang sama, tidak jauh dari CC PKI terdapat Gedung Gerakan Pemuda Ansor. Organisasi massa di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) itu memiliki Barisan Serba Guna Ansor (Banser) yang ikut beperan dalam penumpasan PKI bersama ABRI.

Sampai sekarang, GP Ansor masih melakukan kegiatan di tempat ini. Di seberang GP Ansor, terdapat gedung Pengurus Besar NU. Ketika masa KH Abdulrahman Wahid menjadi presiden, gedung itu berubah menjadi gedung megah dan bertingkat.

Berbeda dengan masa-masa tahun 1950-an dan tahun 1960-an, gedung PB NU sangat sederhana dan seperti gedung-gedung di Jakarta ketika itu yang tidak memiliki alat pendingin.

Di sinilah tempat tiga serangkai pimpinan NU, KH Abdul Wahab Chasbullah (Rois Aam), KH Idham Chalid (Ketua Umum Tanfidziah), dan Sekjen PB NU Saifuddin Zuhri, berkantor.

Sampai tahun 1952, NU masih bergabung dengan Partai Masyumi dan memisahkan diri ketika Kongres di Palembang tahun 1952. Antara lain karena masalah menteri agama setelah meninggalnya KH. Wahid Wahad.

Kursi ini diberikan kepada KH Faqih Usman dari unsur Masyumi. Di samping tuntutan mengembalikan posisi Dewan Syuro Masyumi yang terdiri dari para ulama (sebagian besar NU) yang ikut menentukan bidang politik.

Keluar dari Masyumi, lalu NU berkiprah dalam kancah politik praktis. Tanpa disangka-sangka, dalam Pemilu 1955, Partai NU keluar sebagai pemenang ketiga setelah PNI dan Masyumi.

Dalam Muktamar di Sidoarjo, Jawa Timur, NU kembali ke khitah 1926 dan tidak lagi bergerak dalam politik.

Indonesia Menggugat

Tidak jauh dari jembatan layang Salemba-Matraman, berdekatan dengan Jl. Pramuka, dahulu terdapat gedung Partai Nasional Indonesia (PNI. Partai tertua di Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.

Tetapi gedung bekas markas PNI itu sudah tidak ada dan tak berbekas lagi. PNI didirikan tahun 1927 dan Bung Karno pernah memimpin partai ini. Di masa kolonial dulu, PNI dianggap berbahaya karena menyebarkan ajaran-ajaran pergerakan kemerdekaan.

Saat diadili, Bung Karno membacakan pembelaannya berjudul ’Indonesia Menggugat’. Pada 1973 PNI bergabung dengan empat partai lainnya membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sementara NU, Parmusi, PSII dan Perti bergabung dengan PPP. Pada masa kepemimpinan Ali Suatman yang diangkat menjadi ASU, terjadi perpecahan dalam tubuh PNI Front Marhaenis.

Tokoh –tokoh seperti Hardi SH, Mohammad Isnaeni dan sejumlah pimpinan lainnya dituduh ’marhaenis gadungan’ dan dikeluarkan dari DPP PNI. Ini terjadi setelah Bung Karno menegaskan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia.

Kenangan dari Matraman pun berakhir di samping kiri toko buku Gramedia. Di sana terdapat sebuah gedung. Inilah Gedung Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang merupakan salah satu kekuatan politik pada masa 1950-an.

Jika Presiden Soekarno berhalangan karena berada di luar negeri waktu itu, Dr. J Leimena yang juga Ketua Umum Partai Kristen Indonesia (Parkindo) ditunjuk sebagai Pejabat Presiden. Hingga kini, gedung itu masih ada ssperti keadaannya tahun 1960.(DDJP/stw/df)