Nasib Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan bernasib serupa dengan Pasar Tradisional Cikini. Pasar yang sempat populer di kalangan anak muda pada era 2014 dengan hadirnya usaha kreatif di pasar tradisional tersebut, belakangan makin sepi pengunjung.
“Diduga hal itu terjadi karena biaya sewa sempat dinaikkan oleh pengelola gedung. Dari 326 tempat usaha yang tersedia, kini hanya 123 yang masih aktif. Sebagian pedagang yang merasa keberatan atas kenaikan sewa, memilih hengkang dari pasaryang didirikan sejak 1971 tersebut,” ujar Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Achmad Yani.
Wakil rakyat dari Fraksi PKS itu mengemukakan, setelah Pasar Santa direvitalisasi, lantai basement tetap digunakan sejumlah pedagang sayur-mayur, daging, buah-buahan, sembilan bahan pokok ( sembako). Sedangkan lantai dasar diperuntukkan bagi sejumlah pedagang dan penjahit.
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Achmad Yani. (dok.DDJP)
“Suasana berbeda terlihat di lantai satu. Karena seluruh kios didesain dengan gaya berbeda-beda. Di lantai inilah para pelaku usaha kreatif berpusat. Mulai makanan populer, toko piringan hitam, kedai kopi, hingga toko mainan ada di sana. Merekalah yang sempat menjadi magnet kaum muda ibukota untuk berkunjung. Sayang, kondisi itu tidak bertahan lama. Hanya sebagian pelaku usaha kreatif yang masih bertahan meski pengunjung terus berkurang,” kata Achmad Yani.
Seorang pedagang pakaian dan perhiasan vintage di Pasar Santa, Babby Fabrilia mengatakan, dahulu saking ramainya, lorong di depan kios macet dan pengunjung tidak bisa jalan. Sekarang kondisinya sepi. Omzet pedagang pun turun sampai 40 persen.
Ia mengakui, pada 214, omzetnya mencapai Rp15 juta per minggu. Belakangan, omzetnya terus merosot. Rata-rata tinggal Rp9 juta per minggu.
Menurut Babby, salah satu penyebab sepinya pengunjung ialah penaikan tarif sewa yang dikenakan pengelola gedung.
Ukuran kios 4 m2 di lantai I, tarif awal Rp3 juta per tahun, naik menjadi Rp12 juta per tahun. Tapi saat ini, tarifnya aturun Rp7 juta sampai Rp9 juta per tahun.
“Penaikan tarif sewa sampai empat kali lipat itu karena pengelola melihat kepopuleran Pasar Santa. Tetapi, ketika pengelola gedung menaikkan tarif sewa empat kali lipat, para pedagang bau yang terdiri dari para pelaku uaha kreatif pun menolak. Akhirnya, mereka sebagian memilih pindah. Semula, mereka memilih buka usaha di Pasar Santa karena sewaya murah dan lokasinya sangat strategis,” beber Babby.
Ahmad Subhan, kepala Pasar Santa saat itu mengakui, keputusan pengelola gedung yang menaikkan sewa gedung secara tiba-tiba menjadi salah satu sebab Pasar Santa tidak lagi sehidup dulu.
Karena itu, pihak pengeola gedung sekarang menetapkan biaya sewa baru, yakni Rp7 juta per tahun. Ternyata, tarif baru tersebut belum mampu menghidupkan kembali Pasar Santa sdeperti semula. (DDJP/stw/rul)