Ibarat mengejar deadline pernikahan, saat ini lagi gencar-gencarnya memburu calon pasangan yang cocok, sehati, dan seirama.
Begitu pula dengan masa jelang pilkada. Banyak calon gubernur sedang sibuk mencari calon pasangan untuk memimpin daerah masing-masng.
“Mendekati masa pendaftaran pasangan calon akhir bulan depan, masing-masing partai politik gencar melakukan konsolidasi internal, selain menjalin komunikasi politik dengan partai politik lain untuk memadukan pasangan yang ideal,” kata Suminar Raharjo.
“Mencari pasangan sebearnya mudah. Yang sulit itu ke depannya,” Ibnu berkomentar.
“Itu kan mencari pasagan untuk berumahtangga. Kalau pasangan calon pejabat,tentu berbeda dan lebih susah. Karena banyak yang terlibat di dalamnya dan banyak yang berkepentingan,” ujar Sukmono.
“Betul. Mencari pasagan untuk pejabat memang jauh lebih sulit dibanding mencari pasangan hidup untuk berumahtangga. Kalau pengalaman saya waktu mencari pasangan hidup, mudah saja. Yang penting keterbukaan dan sekata,” jelas Sukmono.
“Betul. Itu juga pernah saya alami. Tetapi mencari pasangan calon pejabat it umalah lebih susah,” kata Sumnar.
“Kenapa lebih susah?” tanya Amril.
“Karena banyak yang terlibat di dalamnya. Banyak yang berkepentingan,” jawab Suminar.
“Iya sih. Tetapi, kepentingan utamanya adalah bagaimana pasangan itu cocok dan serasi, sehingga memperoleh simpati publik. Selanjutnya, mereka dapat memenangkan kontestasi dalam pemilihan kepala daerah. Pertimbangan utamanya adalah calon pasangan tersebut menang, terpilih sebagai kepala daerah,” tutur Suminar.
“Permasalahannya adalah banyak yang berseberangan jalan di tengah jalan. Masing-masing jalan sendiri karena pasangan dipaksakan hanya untuk menang. Soal nanti, adalah urusan belakangan,” kata Amril.
“Mestinya, mencari pasangan nggak asal pilih. Mesti selektif agar nggak menyesal di kemudian hari dan bisa langgeng sepanjang masa. Itu pernah aku lakukan 15 tahun silam,” nyeletuk Samson, mantan kepala Desa Seloagung.
“Maksud sampeyan apa? Ini bicara soal pasangan Pilkada bukan pasangan rumah tangga.” kata Amril ketus.
“Kalian lupa. Bagaimana ramainya saat pemilihan kepala Desa Selagung dulu. Saya yang jadi calon kepala Desa terpilih, bersengketa dengan Zumarni. Kami saling ngotot. Sama-sama bersikukuh menjadi kepala desa. Akhirnya, saya ambil kebijakan, berjodoh menjadi kepala desa. Akhirnya bisa hidup damai dan sudah dikarunia tiga orang anak,” urai Samson.
“Bernostalgia ni yee……..” kata mereka serempak. (DDJP/stw)