Mudik, secara harfiah berarti kembali ke udik atau mulih dikik ke kampung halaman, di mana kita berasal. Hubungan kebathinan dengan leluhur dan keluarga menjadi dasar orang melakukan mudik.
“Dalam filosofi Jawa, ‘Sangkan paraning dumadi’ atau tempat kelahiran, mengajarkan kepada manusia untuk mengingat kembali dari mana kita berasal dan kemana tujuan akhir dari kehidupan ini,” Mardiono membuka obrolan bersama alumni SMA-nya di halaman sekolah di mana mereka sempat menuntut ilmu.
“Ada empat agenda dalam ritual mudik. Pertama, mudik ke kampung halaman untuk merayakan Hari Lebaran. Makna Lebaran sendiri adalah bersyuku atas selesainya menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Manusia diharapkan dapat kembali ke fitrah suci dan bebas dosa setelah Lebaran,” imbuh dia.
“Agenda selanjutnya apa?” tanya Rochim.
“Agenda kedua, orang melakukan mudik adalah Leburan,yaitu saling memaafkan atas kesalahan selama ini. Kontestasi Pilpres 14 Februari lalu masih menyisakan perbedaan pendapat antarkelompok masyarakat dan keluarga. Sehingga hubungan antar keluarga terganggu. Momentum Lebaran sangat tepat untuk menormalkan kembali hubungan sosial pasca Pilpres 2024. Hati kita mejadi putih dan suci setelah saling memaafkan. Seperti warna pagar putih karena dilabur. Tradisi di kampung menjelang Lebaran biasanya pagar halaman rumah dilabur (dikapur) dengan kapur putih. Sehingga menambah suasana menjadi putih bersih. Itulah makna sejati dibalik laburan, yaitu untuk mensucikan diri dan bermuhasabah,” lanjut Mardiono.
“Ritual terakhir apa?” tanya Miskun tidak sabaran.
“Ritual terakhir bagi pemudik setelah berlebaran adalah liburan bersama keluarga. Cuti bersama dan libur panjang dapat meningkatkan perekonomian daerah. Khususnya daerah tujuan mudik. Karena para pemudik membelanjakan uangnya selama mudik.Seperti destinasi wisata lokal, kuliner dan oleh-oleh khas daerah menjadi sasaran kaum pemudk,” kata Mardiono.
“Jadi, empat agenda yang dimaksud adalah Lebaran, leburan, laburan,dan liburan,” kata Miskun yang berdarah Sunda cengengesan.
Mardiono mesem. Tidak serta merta mau menanggapi komentar Miskun. Ia sedang was-was dengan potensi cuaca ekstrem selama mudik berlangsung. Keadaan cuaca tidak menentu. Seperti banjir dan tanah longsor yang perlu diwaspadai.
Kopi pahit dan kepulan asap rokok membawa ingatan Maradiono yang pernah belajar menjadi dalang wayang kulit ingat ke zaman Purwa.
Di mana Bethari Durga kembali mudik ke Kahyangan Jonggringsaloka setelah terkena kutukan di Setra Gandalumayit.
Kocap kacarita, Bethara Guru sebagai penguasa Kahyangan Jonggringsaloka mengusir istriya, Dewi Uma karena berbuat serong dengan pria idaman lain.
Bethara Guru murka dan mengamuk kepada Dewi Uma sehingga berubah wajah menjadi raseksi. Selanjutnya, Dewi Uma mengubah namanya menjadi Durga.
Ia tinggal di tengah hutan dekat kuburan para jin, setan dan lelembut. Durga diberi wewenang untuk memerintah para jin, setan dan raksasa yang tinggal di sekitar hutan Setra Gandalumayit.
Durga bisa berubah wujud seperti semula jika sudah ketemu Satria Pandawa. Dosa-dosa Durga juga dapat diampuni dengan bimbingan Pandawa.
Untuk itu, Durga ingin sekali bertemu dengan Pandawa, Khususnya Sadewa. Melalui pertolongan Dewi Kunthi, akhirnya Durga bisa bertemu Sadewa dan berubah wujud seperti sedia kala.
“Watak jelek Durga jangan dibawa mudik. Itu pesan Ki Dalang Lanangan, guru saya,” kata Mardono membuyarkan lamunan rekan-rekannya.
“Betul, Mardiono. Watak Durga selain serong, suka pamer, juga iri hati,” kata Solihin pendek.
“Iya. Mudik jangan dijadikan ajang pamer kesuksesan di kampung. Gunakan mudik sebagai momentum untuk berbagi dan menebar kesalehan sosial,” tutup Mardiono. (DDJP/stw)