Semua orang pasti mengetahui, pena sebagai bagian di antara alat tulis. Walaupun kini banyak cara dalam menuangkan sesuatu hal yang bersumber dari pikiran seseorang. Bisa saja menuliskannya dengan menggunakan smartphone atau laptop.
Meski demikian, setiap guratan tinta bagi sejumlah kalangan masih menjadi cara yang mengasyikkan di tengah-tengah pesatnya kemajuan teknologi sebagai alat bantu menulis.
Banyak tulisan yang dalam proses membangun Bangsa Indonesia. Apalagi pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945 tertuang kalimat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.
Banyak makna terkandung di dalamnya. Membangun kecerdasan bisa dalam berbagai bentuk upaya.
Menggerakkan tangan dengan menggenggam pena, lalu mulai menuliskan sesuatu yang tersembunyi di dalam kepala, merupakan sesuatu yang tak terlepas dari proses menuju kecerdasan.
Para tokoh Bangsa Indonesia pun kerap melakukannya. Menggali ilmu pengetahuan dan wawasan, mulai lingkup domestik hingga internasional.
Hasilnya dilanjutkan pengolahan menjadi buah pikir atau pemahaman yang digunakan demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tak jarang, para pendahulu di negeri ini yang memulai menuliskan ide atau gagasan hingga buah pikirnya sejak usia muda.
Banyak pula yang melanjutkan pengabdian untuk bangsa meski telah pensiun dalam karirnya melalui berbagai tulisan.
Pentingnya aktivitas menulis. Betapa tidak, sebuah sejarah akan tercatat secara jelas. Bagi mereka yang hidup di zamannya, lalu menuliskan setiap rangkaian peristiwa, maka menjadi bukti bagi generasi di masa mendatang.
Menuliskan sesuatu tentang sebuah perjalanan hidup pribadi dan bangsa akan membentuk sejarah yang sangat berharga di masa depan.
Kesadaran akan pentingnya sejarah kehidupan umat manusia, banyak disadari oleh para tokoh pejuang di masa lalu.
Seperti yang dilakukan Adam Malik, sekitar tahun 1950 menerbitkan sebuah buku berjudul ‘Riwayat Proklamasi 17 Agustus 1945’.
Di dalam buku tersebut, Adam Malik menguraikan hal-hal yang terjadi sekitar detik-detik yang sangat menentukan sejarah Bangsa Indonesia.
Adam Malik ikut berperan penting dalam peristiwa tersebut. Sebagai pemuda, ia masuk dalam kelompok Sukarni yang mendesak dan menculik Soekarno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.
Kelompok pemuda tersebut berusaha menggagalkan digelarnya proklamasi kemerdekaan versi Jepang.
Dalam menuliskan riwayat itu, Adam Malik dipengaruhi atau menggunakan pandangannya sebagai pemuda.
Khususnya, ketidakpuasan para pemuda terhadap Soekarno dan Hatta yang tidak segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.
Gambaran ketidakpuasan kalangan pemuda ketika itu terlihat dari bagaimana Adam Malik menorehkannya dalam bentuk tulisan dari rangkaian peristiwa demi peristiwa.
Termasuk dalam mengutip pandangan orang lain yang pro maupun kontra dengan pendapatnya di dalam penyusunan buku.
Cara yang dilakukan oleh Adam Malik dalam menulis buku itu tak jarang menimbulkan keberatan dari orang lain.
Terbukti dari tulisan Bung Hatta, dua tahun setelah buku yang ditulis Adam Malik terbit. Bung Hatta menuliskan dalam sebuah karangan yang dimuat oleh Majalah Mimbar Indonesia.
Secara tidak langsung, tulisan Bung Hatta membantah tulisan Adam Malik. Nuansa bantahan itu pula disinggung beberapa kali dalam tulisan-tulisan lain Bung Hatta.
Seperti tulisan ‘Sekitar Proklamasi 1945’ yang diterbitkan pada tahun 1969. Termasuk dalam memoir atau tulisan riwayat hidup Bung Hatta.
Meski demikian, buku hasil tulisan Adam Malik tetap beredar. Bahkan saat Ajip Rosidi menuliskan sebuah artikel yang diterbitkan Koran Kompas pada Selasa, 29 Maret 1983, halaman 4, berjudul Mengapa Buku Harus Dilarang?, buku Adam Malik telah masuk cetakan ketujuh.
Ketika Bung Hatta menjabat sebagai wakil presiden, kabarnya sempat meminta Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk melarang buku Adam Malik.
Walaupun kabar secara detil perihal pelarangan itu. Ketika itu, Adam Malik masih berprofesi sebagai wartawan.
Dari riwayat kedua tokoh Bangsa Indonesia itu, dapat dipahami bahwa tidak ada kesempurnaan bagi penulis. Selalu ada pro dan kontra.
Selalu ada keunggulan dan kekurangan. Maka kebijaksanaan dalam menilai terletak pada pembacanya.
Setiap kekurangan bukan sebuah hambatan untuk menulis, bagi siapapun. Setidaknya, suatu kekeliruan cara berpikir bisa ditutupi dengan fakta-fakta yang tersaji dalam sebuah tulisan.
Kalimat yang ditorehkan oleh penulis dari sumber kontroversial sekalipun, sangat mungkin terselip sebuah kebenaran atas fakta sejarah.
Patut dihormati, para tokoh Bangsa Indonesia yang selama ini menuliskan sesuatu yang pernah dialaminya, tidak terlepas dari semangat menulis untuk berbagi pengalaman.
Selain mengabadikan sebuah sejarah perjalanan hidup di masa kepemimpinan hingga purna tugas, juga bisa berbagi pemikiran untuk generasi berikutnya.
Seperti yang dilakukan Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution yang mengundurkan diri dari karir militernya pada tahun 1966.
Pengabdiannya sebagai anak bangsa tidak berhenti di situ. Semangat juangnya tersalurkan lewat tulisan. Meski demikian, kebiasaan menulis telah digelutinya sejak usia muda.
Nasution tak mau menyia-nyiakan waktu purna tugasnya. Puluhan karya hasil pemikiran dan pengalamannya telah dituang lewat kertas dan mesin cetak.
Ia terus memberikan makna bagi sejarah hidup dan bangsanya. Semua yang tertuang dalam tulisan tak lepas dari pengalaman masa lalu. Hal ini menjadi sebuah warisan bagi anak bangsa.
Pada 3 Desember 1985, di Ruang Patriot, Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution yang akrab disapa Pak Nas, genap berusia 67 tahun.
Didampingi isteri, anak-cucu, dan kerabat, ia hadir pada perayaan sederhana yang diselenggarakan oleh H. Masagung selaku direktur utama PT. Gunung Agung.
Perayaan hari ulang tahun itu ditandai dengan penerbitan buku ‘Memenuhi Panggilan Tugas’, jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama.
Buku tersebut didahului buku ‘Memenuhi Panggilan Tugas’ jilid 1 sampai 4 yang mulai diterbitkan pada 1982.
Dalam kesempatan itu, Pak Nas bertemu dengan Jenderal TNI (Purn) T.B. Simatupang. Keduanya adalah penulis. Juga telah beranjak tua.
“Ada sejarah manusia dan ada sejarah bangsa,” ujar T.B. Simatupang mengawali sambutan.
Simatupang dan Nasution merupakan teman akrab sejak kedua duduk di Akademi Militer Belanda (KMA), Bandung.
“Orang boleh berbeda dalam makna. Tapi, kita bisa bersatu dalam usaha memberikan makna. Dan usaha itu tak akan pernah berhenti. Itulah dinamika bangsa,” tutur T.B. Simatupang.
Nasution mengungkapkan, kerap menulis di setiap waktu luangnya. Buku dari karya tulisan yang telah diterbitkan, rata-rata hingga setebal 400 halaman.
“Saya menulis kapan saja saya mau. Tak ada waktu khusus,” tutur dia.
Uniknya, Nasution tidak pernah menulis dengan menggunakan mesin ketik. Melainkan menulis langsung dengan tangannya.
Hal itu diakui oleh Ediyanti, cucu Nasution. “Opa menulis dengan tangan,” ungkap dia.
Berdasarkan penuturan sejumlah anggota keluarganya, Nasution merupakan sosok orang tua yang suka berjalan kaki dan ramah dengan siapa saja.
Nada suara Nasution terdengar keras dan tegas. Semangat juang Nasution yang tak padam dimakan usia. Tentu ini bisa jadi teladan bagi siapa saja.
Nasution juga sering mengimbau kepada siapapun untuk selalu menulis agar dapat memberikan makna pada kehidupan dan pengalaman pada sejarah bangsa.
“Old soldier never die, they just fade away… (Semangat keprajuritan tak pernah mati, meski prajurit itu mengundurkan diri…)” tulis Redaksi Kompas pada terbitan Rabu, 4 Desember 1985, halaman 5. (DDJP/df)