Mengurai Benang Kusut Pajak Hiburan

May 16, 2024 2:03 pm

Awal tahun 2024, para pengusaha hiburan digemparkan dengan aturan baru tarif pajak hiburan jenis usaha tertentu berkisar 10,75 persen. Mereka menilai besaran pajak tersebut tak wajar. Bahkan tak menyisakan untung bagi para pelaku usaha.

Aturan baru tersebut membuat kalang kabut pengusaha. Apalagi mereka merasa tak dilibatkan dalam penyusunan aturan yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UUHKPD).

“Dalam regulasi itu terdapat 12 kelompok jasa kesenian dan hiburan. Sebelas di antaranya dipungut pajak hiburan maksimal 10 persen. Sisanya masuk dalam kelompok hiburan tertentu yang terdiri dari diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa. Mereka harus membayar tarif 40,75 persen dari pendapatan kotor,” ujar Wakil Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta Rasyidi, Senin (13/5).

 

Wakil Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta Rasyidi. (dok.DDJP)

Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu menegaskan, penolakan itu adalah wajar. Namun, kenaikan pajak hiburan sebesar 40 persen itu juga bisa dilihat pada sisi positif. Salah satunya adalah menunjang peningkatan penerimaan pendapatan daerah (PAD).

Meski demikian, sambung Rasyidi, masih terdapat peluang merevisi aturan tersebut. Diakuinya, kebijakan tersebut memang dikeluhkan banyak pengusaha hiburan. Idealnya, aturan itu berlaku bagi orang yang datang atau tamu tempat hiburan.

“Karena mereka yang datang ke tempat hiburan itu selain untuk bersenang-senang, biasanya juga banyak punya uang. Seiring berjalannya waktu, kita berharap semua pihak bisa menerimanya. All beginning is difficult. Semua yang baru itu susah. Jika begitu sudah jalan, kenaikan itu mudah. Karena sebenarnya kenaikan pajak itu dibebankan kepada orang yang datang,” kata wakil rakyat yang membidangi anggaran dan perekonomian itu.

Efek positif kenaikan pajak hiburan tersebut, ungkap Rasyidi, diharapkan membuat rencana pembangunan di DKI Jakarta bisa berjalan optimal. Sebab, berdampak pada peningkatan APBD DKI Jakarta dari sektor pajak.

“Kita ingin mendapatkan suatu tambahan profit dalam APBD kita. Karena, Pemprov DKI Jakarta berkomitmen menjaga iklim perekonomian di wilayah Ibu Kota.Salah satunya menerapkan batas bawah atau terendah kenaikan pajak hiburan sebesar 40 persen sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,” imbuh Rasyidi.

Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Provinsi DKI Jakarta Pantas Nainggolan di tempat terpisah, Senin (13/5), mengatakan bahwa Perda itu dibuat mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

“Regulasi itu mengatur batas atas dan batas bawah tentang besaran pajak yang akan dikenakan kepada pelaku usaha. Jadi, kami ambil batas bawah dengan harapan pihak yang dikenakan wajib pajak tidak terbebani, sehingga bisa tetap berusaha dan tidak tercekik. Karena itu, eksekutif dan legislatif sengaja tak mengambil batas tertinggi dari nilai pajak sebesar 70 persen, karena mempertimbangkan kemampuan pelaku usaha hiburan. Meski Jakarta dikenal sebagai kota jasa, tapi pemerintah juga harus menjaga keberlangsungan ekonomi di wilayahnya,” tandas Pantas. (DDJP/stw)