Kelompok orkestra Kerontjong Toegoe hadir dengan sebuah keterbukaan dalam bermusik. Ada nuansa keceriaan hingga kegundahan dalam setiap gesekan biola hingga celo.
Itu yang bisa dinikmati ketika kelompok musik ini tampil di gedung DPRD Provinsi DKI Jakarta berkenaan dengan peringatan HUT Kota Jakarta, tahun lalu.
Ada kalanya akan lebih baik menyimak musik lokal yang semakin redup terdengar. Kerontjong Toegoe, iramanya lebih banyak mengedepankan unsur keceriaan menjadikan Kerontjong Toegoe selalu dirindukan kehadirannya oleh masyarakat.
Tak banyak grup musik tradisional yang memainkan jenis musik ini. Biasanya anggota grup Kerontjong Toegoe beranggotakan orang-orang keturunan Portugis yang tetap menjaga tradisi leluhurnya.
Dalam setiap penampilan, grup musik keroncong yang dipimpin Andre J Mischiels itu memberikan suguhan yang merakyat.
Mereka tampil menggoda setiap penampilannya. Sebagian besar lagu-lagu yang ditampilkan adalah lagu-lagu yang bisa mengingatkan pada situasi Jakarta tempo doeloe.
“Tembang-tembang yang ditampilkan antara lain Oud Batavia, Kampoeng Serani, Bunga Teratai, Cafrinho, Surilang, Medley Ambon, Schoon ver van Jo Tanah Toegoe dan lain sebagainya. Tetap, mereka juga sering membawakan lagu-lagu ciptaan Pance Pondaag (alm) seperti Kucari Jalan Terbaik, Kerinduan, Untuk Sebuah Nama dan sebagainya. Seperti yang mereka tampilkan di Gedung DPRD DKI Jakarta saat peringatan HUT Kota Jakarta, beberapa waktu lalu,” tutur Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Merry Hotma.
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Merry Hotma. (dok.DDJP)
Kenapa namanya Kerontjong Toegoe? karena kelompok musik ini lahir di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Andre merupakan generasi ke-10 keturunan Portugis yang mesih bersemangat melestarikan dan mengembangkan Kerontjong Toegoe kepada generasi penerusnya.
Itu sebabnya, ketika tampil di gedung DPRD, pemain musiknya perpaduan generasi ke-10 dan generasi ke-11. Mereka berkolaborasi secara apik. Kekompakan yang mereka suguhkan tidak lain untuk menjaga nama Kerontjong Toegoe di Jakarta.
Salah satu kampung yang menjadi sejarah semasa penjajahan kolonialisme Belanda. Mereka adalah Saartje J Michiels dan Angel (vokal), Nabila Formes (kontrabas), Agusta Mehels (selo), Gideon Carlos (gitar macina), James (prounga/cak), Jose Febrian (cuk), Agustinus Sugeng Dwiharso (biola), dan Ignatius Layola Djeer (gitar).
Agustinus dan Ignatius memang bukan generasi Kampoeng Toegoe. Mereka adalah musisi asal Yogyakarta. Sedangkan Ignatius adalah musisi asal Flores Nusa Tenggara Timur.
Kehadiran mereka dalam pentas musik di Bentara Jaya baru-baru ini, sebagai bentuk kekompakan dan kebersamaan.
Wejangan pendahulu
Sebagai terobosan untuk menjaga eksistensi Kerontjong Toegoe, Andre mengaku memperoleh amanat dari generaasi ke-9 untuk melestarikan jenis musik tradisi itu.
“Saat kecil jiwa saya sudah ditanamkan untuk bermain keronong. Hal yang sama pula saya ajarkan kepada anak-anak saya,” jelas dia.
Memang, keroncong yang berkembang di Kampung Tugu sedikit berbeda dengan keroncong yang ada di luarnya. Semisal di Jawa Tengah. Hal itu bisa dilihat dari lirik-lirik syairnya.
Yaitu adanya pencampuran bahasa. Antara bahasa Indonesia, Belanda dan Portugis. Agustinus yang sudah cukup lama bergabung dengan Kerontjong Toegoe mengaku sangat merasakan kekeluargaan.
“Awalnya, saya bergabung pada 1994. Saat itu saya melihat keroncong di Toegoe masih berpatok pada irama mayor. Saya masuk dan memberikan sedikit polesan irama minor,” ungkap dia.
Menyimak lagu-lagu yang dibawakan orkestra Krontjong Toegoe, ada nilai kecintaan terhadap tanah dan kampung mereka.
Tembang Tanah Toegoe dibawakan dengan irama yang mengalun merdu. Beta datang ke Tanah Tugu/ Indah permai// Keroncong Tugu mengalun indah…….// Beta kan jaga Tanah Tugu sampai mati // Tuhan jaga beta pung Tanah Tugu. (DDJP/stw/rul)