Kesenian tradisi di daerah-daerah terus mengalami kemunduran karena tergerus modernitas. Termasuk seni tradisi Betawi yang mengalami mati suri. Padahal, memori tentang pengetahuan kebudayaan masa lalu memiliki nilai-nilai kehidupan yang tak ternilai harganya.
Menjaga maestro dan menyebarkan nilai budaya kepada generasi muda menjadi cara terbaik untuk melindungi kebudayaan. Maestro Tradisi Lisan Betawi Ridwan Saidi menyatakan, tradisi lisan Betawi dalam kondisi terancam punah.
“Salah satunya adalah Bahasa Betawi, seni lisan yang terancam punah. Bahasa ibu Betawi tersebut semakin tergerus zaman. Termasuk di antaranya sejumlah seni budaya Betawi yang kini banyak mengalami mati suri,” ujar dia.
“Hidup enggak mati pun enggan. Karena sedikit anak muda Betawi sekarang yang meggunakan Bahasa Betawi untuk pembicaraan sehari-hari. Baik di pergaulan sehari-hari maupun dalam lingkungan keluarga. Apalagi menekuni seni tradisi, akibat gempuran budaya impor. Sehingga, seni tradisi seolah-olah hanya diketahui oleh orang-orang tua,” kata Ridwan Saidi.
Bencana Budaya
Hal serupa dikemukakan Pakar Pendidikan Seni dan Budaya Nasional Prof. H. Arief Rachman secara terpisah akhir November 2024. Dihubungi secara terpisah, ia mengemukakan, menjaga maestro sama dengan menjaga nilai-nilai Budaya Indonesia.
Nilai-nilai ini bukan sekadar dengan menyediakan tempat latihan dan panggung acara bagi para maestro, melainkan juga menumbuhkan tradisi tersebut untuk hidup menjadi bagian dari masyarakat.
Jika para maestro tak dijaga dengan baik, menurut dia, tradisi budaya akan kehilangan arah. Nilai-nilai kebaikan bermasyarakat yang diajarkan nenek moyang zaman dahulu dalam tradisi kebudayaan sebagai identitas kebangsaan yang khas harus dijaga agar tidak terjadi bencana budaya.
“Bencana budaya memang tidak tampak. Perlahan menyusup dalam bentuk peningkatan kriminalitas, kekerasan, serta pelanggaran kesantunan dan etika. Bahkan menjadi kerusakan lingkungan terkait dengan krisis iklim karena budaya menjaga alamnya ditinggalkan akibat ulah manusia. Itulah pentingnya menjaga maestro ini. Kita bisa membantu maestro menarasikan nilai-nilai budaya agar menjadi narasi yang kuat untuk bisa disandingkan dengan program-program lain. Nilainya, memperkuat jati diri kita karena dia yang punya dasarnya,” urai Arief.
Di lain pihak, Ketua Badan Muyawarah (Bamus) Betawi yang juga anggota DPRD DKI Jakarta Riano P. Ahmad mengemukakan, menjaga maestro membutuhkan ekosistem kebudayaan yang ideal.
“Komitmen semua pihak, mulai dari seniman, pelaku budaya, generasi muda hingga pemerintah daerah didorong untuk mendokumentasikan nilai-nilai budaya dari para maestro agar tetap lestari,” ujar dia.
Tetapi, tambah Riano, yang paling bertanggung jawab mempertahankan kebudayaan itu adalah masyarakatnya sendiri. Mulai dari pemerintah daerah, komunitas lokal, sekolah, sampai masyarakatnya harus tumbuh bersama kebudayaannya.
Kemendikbud juga harus aktif menjaga para maestro melalui pemberian penghargaan kebudayaan bagi individu yang tekun dan gigih mengabdikan diri pada jenis seni yang langka atau nyaris punah serta mewariskan keahliannnya kepada generasi muda.
Selain penghargaan, sewajarnya mereka memperoleh tunjangan keuangan setiap bulannya selama hidupnya.
Sementara itu, Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta Justin Adrian menegaskan, perluasan ruang publik sebagai titik temu ekosistem kebudayaan juga harus diperbanyak sebagai implementasi dari konsep cipta kawasan pemajuan kebudayaan.
“Misalnya, dengan merevitalisasi bangunan lama sebagai ruang kreasi pubik. Nah, kita sebenarnya bisa saja untuk maestro-maestro dan para pelestari yang menggawangi kebudayaan di daerah-daerah itu. Kita bisa masukkan ke dalam program itu,” urai dia.
Jutin menambahkan, salah satu upaya yang tengah berlangsung saat ini adalah residensi pemajuan kebudayaan yang mengajak para pelaku budaya dalam dalam dan luar negeri untuk mengikuti reidensi tradisi lisan di berbagai daerah, seperti tradisi lisan di Riau, tari topeng Betawi, tari topeng Losari dari Cirebon, dan olahraga jemparingan dari Yogyakarta. (stw/df)