“Hari-hari ini umat Islam masih dalam suasana Idulfitri. Hari yang menandai kesucian jiwa setelah menahan hawa nafsu selama ibadah puasa bulan Ramadhan. Dalam masa-masa itu, umat Islam menahan amarah, menjauhi sifat amarah, dendam, iri, maupun dengki. Semua diabdikan kepada Allah SWT,” kata Mukmin mengawali pembicaraan bersama teman-temannya usai halal-bilhalal di rumah Pak Camat Abdul Kodir.
“Dengan gemblengan mendalam dalam ibadah Ramadhan, para ustadz dan ulama juga menyerukan agar apa yang didapat di bulan suci Ramadhan sebisa mungkin dilanjutkan selepas Idul Fitri,” menimpali Kodirun.
“Iya. Di hari raya umat Islam tersebut, imam Shalat Ied juga mengingatkan menjadi umat agar saling memaafkan, menghilangkan dendam, amarah yang terpendam selama ini,” kata Mukmin.
“Dengan pengantar tersebut, maka akan sangat baik jika semangat Idul Fitri juga diartikan menjadi saat yang baik untuk menghilangkan dendam antar tokoh saat ini. Baik tokoh politik, tokoh birokrasi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Terutama tokoh politik sebagai pemegang kunci perjalanan bangsa ini. Kiranya, sudah sangat paham makna Idulfitri dan gemblegan ibadah Ramadhan. Karena itu, kalau makna-makna tersebut diamalkan, akan menjadi berguna untuk mengurangi tensi ketegangan politik yang membara lagi,” menimpali Suyudi.
“Ingat nggak. Judul kotbah Imam Shalat Ied di Lapangan Rose kemarin ?” tanya Mukmin.
Semuanya jadi melongo. Tak seorang pun yang menjawab. Satu sama lainnya saling pandang.
“Akh, kalian payah semua! Judul kotbah tersebut adalah ”Semangat Idulfitri Memutus Kutukan Keris Empu Gandring. Judulnya memang rada bombastis. Tapi, memang dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lugas tentang perjalanan bangsa ini,” tegas Mukmin.
“Ya. Saya baru ingat. Yang dimaksud Kutukan Keris Empu Gandring lebih pada makna konotatif. Tidak seperti dalam sejarah. Kerajaan Singosari dan Tunggul Ametung, Ken Arok hingga era Kertanegara. Di era itu, keris buatan Empu Gandring digunakan Ken Arok untuk mencari kekuasaan dengan diliputi cara “ nabok nyilih tangan” atau ‘lempar batu sembunyi tangan’ untuk membunuh Tunggul Ametung. Kemudian sejarah keris itu menimbulkan dendam tujuh turunan. Aku masih ingat betul pelajaran sejarah waktu duduk di Sekolah Rakyat dulu,” kata Babah Ulloh.
Semuanya tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi tawanya mendadak terhenti ketika Mukmin melototi mereka. Mukmin lalu meneruskan cerita Babah Ulloh yang mulai terbatuk-batuk karena asmanya kambuh.
“Perjalanan Negara Republik Indonesia ini telah silih berganti kepemimpinan. Dalam setiap pergantian kepemimpinan itu selalu diwarnai gejolak politik yang sedikit banyak diwarnai dendam baru. Dalam istilah pakar filsafat, Rocky Gerung, di Republik Indonesia ini ada antrologi dendam yang mengiringi sejarah bangsa. Pertama, di era Presiden Soekarno, beliau jatuh setelah pergantian kekuasaan yang sangat panas. Sebelumnya, timbul pertumpahan darah luar biasa. Yakni peristiwa 1965. Kutukan Keris Empu Gandring pertama pun muncul, karena adanya pergantian kekuasaan yang suasana politiknya super panas,” kata Mukmin yang memang senang membaca sejarah perjuangan bangsa.
Bung Karno digantikan oleh Presiden Soeharto. Presiden ke-2 RI ini mengakhiri jabatan dipaksa oleh Gerakan Reformasi.
Dia digantikan Wakil Presiden BJ Habibie. Dari segi perganian itu berjalan konstitusional. Namun, kondisi politik yang mengiringi menimbulkan amarah dan dendam baru dari berbagai pihak.
“Pergantian Presiden BJ Habibie kepada Presiden Gus Dur relatif tidak muncul dendam. Kalau pun ada, relatif kecil. Nah, setelah Presiden Gus Dur, ini memunculkan dendm baru. Karena dia diturunkan paksa lewat Sidang Umum MPR dengan dugaan korupsi Brunei Gate. Lantas Gus Dur digantikan Megawati Soekarnoputri, di masanya digelar Pilpres langsung pertama. Megawati dikalahkan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Entah pesoalan apa, pergantian ini juga menyisakan aroma dendam. Hingga kini, antara Megawati dan SBY belum akur. Lantas, Pilpres 2014, Joko Widodo (Jokowi) terpilih menggantikan SBY. Putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pun masuk ke dalam kabinet Jokowi. Nah, setelah Jokowi hendak megakhiri masa jabatannya, terjadi ketegangan dengan partainya, PDI Perjuangan gegara Jokowi menjadikan anaknya, Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto Sehingga menimbulkan kemarahan PDIP. Sebab, sejak dari bawah Jokowi selalu didukung penuh PDIP. Tetapi pada akhirya, malah ’mengkhianati’ PDIP. Dendam baru pun muncul. PDIP marah” urai Mukmin.
“Nah, kalau umat Islam dan para tokoh politik di negeri ini menghayati makna ibadah Ramadhan dan makna Idulfitri, kiranya tidak akan muncul kejadian-kejadian pengkhianatan dan dendam politik seperti Kutukan Keris Empu Gandring. Dengan kedewasaan berbangsa dan bernegara, ke depan dengan semnagat Idul Fitri, kita harus memupus munculnya dendam-dendam baru,” kata Babah Ulloh. (DDJP/stw)