“Bila kita melihat tembok yang kokoh, terbayang bahwa dia terdiri atas susunan batu bata. Namun, sebenarnya, batu bata yang terbaik pun tidak akan bisa membentuk dinding yang kokoh tanpa semen yang merekatkannya. Kualitas dari adukan semen itu sangat penting bagi kekuatan tembok. Thomas Malone, profesor di MIT pernah melakukan penelitian mengenai kecerdasan kolektif untuk melihat faktor yang paling signifikan berpengaruh pada kelompok yang sukses dalam melakukan pemecahan masalah,” Murdiono mengawali obrolan usai menghadiri sarasehan tentang ilmu pegetahuan dan teknologi di bidang pembangunan di sebuah hotel terkemuka.
Dalam penelitian itu, tambah dia, mereka menemukan, ternyata IQ bukanlah pembeda utama kesuksesan kelompok dalam berinovasi atau pun memecahkan masalah. Beberapa karakteristik yang konsisten pada kelompok-kelompok yang sukses dalam berinovasi ternyata dapat digolongkan dalam tiga hal.
“Pertama, setiap orang dalam kelompok memiliki waktu berbicara yang kurang lebih sama. Hal itu bukan berarti waktu pembicaraan dialokasikan dengan sengaja, tetapi mengacu pada tidak adanya individu yang mendominasi pembicaraan karena merasa dirinya yang paling superior. Juga tidak ada individu yang menjadi pendengar pasif saja karena merasa inferior. Semua orang berkontribusi dan semua pendapat dihargai.”
“Yang kedua ?” tanya Abraham.
“Yang kedua, individu-individu dalam kelompok tersebut ternyata memiliki kepekaan yang lebih tinggi untuk merabarasakan suasana hati rekan kerjanya. Mereka lebih peka dalam mengenali kebutuhan rekan kerjanya dan memiliki skor yang cukup tinggi dalam skala empati pada tes yang diberikan.”
“Yang ketiga?” Gufron ganti melontarkan pertanyaan.
“Ketiga, ternyata kelompok yang sukses, selalu memiliki lebih banyak perempuan sebagai anggotanya,”
“Lho,…… kok bisa,” kata Abraham dan Gufron hampir bersamaan.
“Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih terverifikasi dan juga kemungkinan berkontribusi terhadap nilai tes empati yang lebih tinggi. Melalui penelitian ini, kita melihat ” semen perekat” yang mendukung kekuatan kelompok adalah rasa saling percaya akan kepedulian satu sama lain yang membentuk ikatan sosial yang kuat di antara anggota kelompok. Kita menyadari bahwa solusi bisa datang dari rekan kerja kita. Sehingga, semua pendapat patut didengar,” kata Murdiono.
Ikatan sosial yang kuat ini, tambah Murdiono, tidak berarti bahwa proses diskusi akan berjalan mulus tanpa konflik. Konflik tetap mungkin terjadi. Namun, dengan ikatan sosial yang kuat, tidak ada agenda pribadi yang disembunyikan oleh para individu. Setiap orang berfokus pada penyelesaian masalah.
Bukan sibuk menunjuk siapa penyebab masalah. Konflik yang terjadi adalah konflik kreatif yang berfokus pada solusi. Kesulitan yang dihadapi salah satu pihak dianggap sebagai masalah bersama. Sehingga setiap orang berusaha berkontribusi dengan kekuatannya masing-masing.
“Boleh dong, kelompok kita masuk ke dalam kelompok ini,”nyeletuk Adi dan Agam.
“Bisa jadi. Karena kelompok yang memiliki ikatan sosial yang kuat seperti yang kita miliki ini dapat disebut memiliki modal sosial (social capital) yang mumpuni untuk menghasilkan sense of belonging dan rasa aman dalam kelompok. Dengan modal ikatan sosial yang kuat, orang dengan mudah minta pertolongan. Saling menolong sering terlihat sepele dan tidak penting dalam bisnis. Padahal, tim yang peduli dan memiliki kebiasaan saling tolong menolong, tidak akan membiarkan temannya mengalami masalah atau terpojok sendiri. Betul nggak !”
“Hmmmmmm……..Benar juga ya,” kata mereka sambil manggut-manggut. (DDJP/stw)