Meluruskan Kebijakan Stunting

July 9, 2024 2:03 pm

Tercatat ada 17 kementerian yang terlibat dalam hal penanganan masalah stunting. Guru Besar Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Wakil Ketua Klaster Kesehatan Asosiasi Profesor Indonesia (API) Ali Khomsan mengemukakan, terdapat banyak kementerian yang menangani stunting ternyata belum menyelesaikan masalah.

Tumpang tindih, banyak tangan, bukan selesai, malah remuk (Kompas.com, 18/10/2020).

Diumumkannya prevalensi stunting 21,5 persen dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 membuktikan, urusan stunting masih jauh dari selesai. Jika dibandingkan dengan data 2022 (stunting 21,8%) prevaleni stunting hanya turun 0,1 persen.

“Ini adalah sesuatu yang ironis. Pemerintah telah mengalokasikan puluhan triliun rupiah untuk berbagai macam program stunting, Namun besaran problem stunting stagnan. Salah kita, tidak melakukan apa-apa,” urai Ali Khomsan.

Persoalan stunting yang targetnya akan diturunkan pemerintah menjadi 1,4 persen pada 2024, tambah Alu, menjadi jauh panggang dari api. Penurunan stunting yang logis ialah 2 persen atau 3 persen per tahun. Sehingga, target 1,4 persen menjadi sulit diwujudkan.

Stunting di Indonesia diatasi dengan program spesifik dan program sensitif. Program spesifik gizi yang dilakukan jajaran kesehatan telah dirasakan manfaatnya oleh balita stunting dan ibu hamil berisiko melahirkan anak stunting.

“Coverage (cakupan) program spesifik gizi umumnya sudah tinggi yang menunjukkan bahwa program jajaran kesehatan sudah diterima dan dirasakan masyarakat,” ujar Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Indrawati Dewi, Rabu (3/7/2024).

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Indrawati Dewi. (dok.DDJP)

Lalu bagaimana dengan program sensitif gizi? Ini yang masih menjadi pesoalan. Dalam suatu focus group discution (FGD) di desa fokus stunting, terungkap bahwa masih banyak rumah tangga dengan balita stunting yang tidak tercakup dalam program sensitif gizi.

“Program sensitif ynag sekarang dilaksanakan pemerintah adalah Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT), sanitasi air bersih dan jamban sehat kawasan rumah pangan lestari (KRPL) dan lain-lain,” imbuh Indrawati.

Belajar dari WIC

Kalau Pemerintah Indonesia mau belajar dari Program WIC di Amerika Serikat (AS), seperti dikemukakan Ali Khomsan, program stunting akan lebih cepat diatasi.

Supplemental Food Program for Women Infant and Childrens (WIC) pada dasarnya hanya memberikan bantuan pangan berupa telor, susu, orange juice, dan sereal. Yakni kepada balita miskin, ibu hamil miskin, dan ibu menyusui miskin.

Bantuannya berupa voucer yang bisa ditukar dengan makanan di toko terdekat. Paling tidak untuk Indonesia yang belum setara Amerika kesejahteraannya, sebagian dana desa atau dana program spesifik atau sensitif harus bisa dialokasikan untuk bantuan pangan (telor dan susu) langsung kepada anak-anak stunting.

“Secara nasional, jika jumlah anak balita sekitar 30 juta anak dan 20% adalah stunting, jumlah anak yang harus dibantu kecukupan ekonominya. Sehingga mereka bisa mengonsumsi telor dan susu rutin setiap hari, akan dibutuhkan dana Rp7,2 triliun setahun,” papar Ali.

Bandingkan dengan dana desa 2021 yang besarnya Rp72 triliun dan dana stunting 2022 sebesar Rp44,8 triliun. Kalkulasi sederhana ini bisa menjelaskan bahwa pemerintah pasti bisa memberikan bantuan pangan hewani (food based approuch) yang bersifat langsung kepada target penderita stunting.

“Ianotri et al (2017) dalam jurnal Pediatrics menyimpulkan penelitian mereka menunjukkan, pemberian telor tiap hari selama enam bulan sebagai makanan tambahan dapat meningkatkan tinggi badan menurut umur, berat badan menurut umur dan mengatasi prevalensi stunting pada anak hingga 47%. Selain itu, konsumsi makanan manis di kalangan anak turun dan konsumsi telor meningkat secara signifikan,” tukas Ali. (DDJP/stw/df)